Pendidikan
Pada Masa Kolonial Belanda
Pemerintah
kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika menerapkan pola
pendidikan modern. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan
model pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah ongko loro dan ongko
siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun
dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa ketrampilan
berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas dibutuhkan
untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda sendiri.
Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan
tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak
ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa
yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan
persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat
utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun
demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron
van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem
persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan
terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah
menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini dinamakan
schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran mengalami
perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak
setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap
mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal
dari kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang
pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja
harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi siswa sekolah ini. Bahasa
Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai
pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere
School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China Lagere School
bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi
yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut,
pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang.
Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi
bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan Inggris. Tidak
setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini. Banyak kendala
rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk memperoleh kesempatan
ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO sebanding kualitasnya dengan
lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia berhak mendapatkan tempat
pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun militer pemerintah Kolonial
Belanda.
Pengembangan aspek
kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah Kolonial Belanda yang semakin
lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu,
dengan jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka kebutuhan akan jumlah
kepegawaian itu dapat terpenuhi.
Pada level yang tertinggi,
kebijakan Kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan
sekolah setingkat SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School)
dan HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang
diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga)
tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di
HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan
bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah
ukuran mutlak. Oleh karena pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum
yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa
saja. Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin
Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan
sebagainya.
Sangat jelas bahwa sistem
pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di
satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan
politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh
pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala.
Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang
diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum
bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan
HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah
kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan
benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari
sistem dan kebijakan Belanda sendiri.
Betapa sulitnya kaum pribumi
untuk menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar
keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa
yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat
mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang
pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan
kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya. Menjadi guru toh merupakan jenjang
kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi terbawah model
birokrasi Kolonial Belanda.
Pada aspek materi, jelas
sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO,
dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu
materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya,
civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda
Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap
eksistensi ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda
adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input,
proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya.
Pada standar input jelas
sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai
siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses
seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak.
Pada standar proses, terlihat
bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang
yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal.
Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung
jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras
dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang
efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Pada standar pembiayaan,
jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi
akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka
yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang maksimal agar
anak-anaknya bisa sukses di sekolah.
Adanya dukungan dana dari
orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana
dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda
dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.
Semuanya
yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara pada kualitas
lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking hebatnya lulusan
AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya sama dengan lulusan S-2
jaman sekarang.
Pemikiran Ibnu Atha’illah
Berdasarkan
biografi dan karya-karya tulis Ibnu Atha’ilah, sudah jelas, bahwa ia
seorang ahli hukum mazhab mailki, ia juga sebagai seorang guru sufi
tarekat Syadziliyah. Oleh sebab itu sepantasnya ia dijuluki sebagai
ahli Hikmah, yang melahirkan salah satu dari pemikiranya adalah Kitab
al-Hikam.
Untuk
memudahkan mendalami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, perlu memahami
terlebih dahulu perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, mulai dari
karir hingga wafatnya. Hal ini dilakukan untuk memperjelas dalam
mengklasifikasikan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, yang sedikit banyak
berorientasi pada nilai-nilai Taswuf yang melekat pada dirinya.
Perkembangan
pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dapat diketahui dari karya tulisnya
al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu
‘Atha’illah pada khusunya dalam paradigma Tasawuf. Diantara para tokoh
sufi yang lain, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, dan
para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu
‘Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan
teologi, tetapi diseimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadat dan
suluk, artinya diantara syari’at, tharikat dan hakikat ditempuh dengan
cara metodis. Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya tulis dan
warisan spiritualnya dan selain ia seoarang ahli hukum yang bermazhab
Maliki dan sebagai penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki posisi
sebagai dalam tahrekat Sydziliyah.
Corak
Pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan
para tokoh sufi lainnya ia lebih menekankan nilai Tasawuf pada
Ma’rifat. Selain itu juga bahwa Ibnu ‘Atha’illah merupakan guru ketiga
dari taharikat Syadziliyah, maka ia memilki pandangan tasawuf pada
kahususnya tentang ma’rifat berdasarkan pandangan tarekat Syadziliyah.
Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama,
tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia
mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan
kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan
rasa syukur kepada Allah. dan mengenal rahmat Illahi. Meninggalkan
dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan
berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada
kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt. dengan
sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Kedua,
tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam. Ia adalah salah
satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan
al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah, mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf
yang dikenal cukup moderat.
Ketiga,
zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud
adalah mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci
para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia.
Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang
tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu
hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahw) yang akan
melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.
Keempat,
tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya
raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya.
Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai
melalaikan-Nya dan jangan samapi menjadi hamba dunia, tiada kesedihan
ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika berlebihan ketika harta
datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus memakai baju
lusush yang tidak berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.
Kelima,
berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha
menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang
yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak
dialami para salik. Abu hasan al-Syadzili menawarkan tasawuf positif
yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari ‘langit’, juga
harus beraktivitas dalam realitas sosial di ‘bumi’ ini. Beraktivitas
sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil
kontemplasi.
Keenam,
tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan
menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat
aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah Swt., senantiasa
melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya
selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh
Ketujuh,
dalam kaitannya dengan ma’riaft al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat
adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua
jalan
1).
Mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang
akan diberi anugrah tersebut.
2).
Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh
melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir,
mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
Karena
itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah ini akan berangkat
dari teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta
tulisan tulisan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Hikam.
Alasan
digunakannya teori ini, karena Kitab Al-Hikam meletakan Transendental
mengenai eksistensi Tuhan secara empiris, sehingga dari sini kita
dapat memahami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dari penglaman puncak (Fick
eksperience).
Ibnu
‘Atha’illah telah memahami ajaran konsep Tasawuf yang banyak
mengandung dari ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut
diringkas menjadi lima bagian yaitu :
- Secara lahir dan batin melakukan Taqwa kepada Allah Swt
- Berkata dan berbuat sesuai dengan As Sunnah
- Dalam penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk
- Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah Swt.
- Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah Swt.
Selain kelima kosep Tasawuf diatas, Ibnu ‘Atha’illah memiliki ajaran pokok dalam Tasawuf antara lain :
- Peniadaan kehendak dibalik kehendak Tuhan
- Pengaturan manusia dibanding kehendak Tuhan
- Pengaturan manusia dibanding pengaturan Allah SWT.
Mengenai konsep yang pertama dan kedua,. Ibnu ‘Atha’illah memberikan penegasan dalam hikmah sebagai berikut.
مَا تَرَاكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْأً مَنْ اَرَادَنَ يُحْدِثُ فِى اْلوَقْتِ غَيْرَ اَظْهَرَهُ اللهُ فِيْه
Artinya
: “tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang
menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju
kelain waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”.
Allah
Swt adalah Dzat yang maha merajai diseluruh alam semesta ini. Dia
mengetahui segela sesuatu yang ada didalam kerajaannya, itu dengan
kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri. Maka dari itu apa saja yang
terjadi apa saja dialam semesta ini, misalnya jatuh sakit, orang yang
berada ditingkat tajrid, orang berada ditingkat kasab, miskin serta
kaya, semua itu berjalan dengan kehendak dan iradat yang telah
direncanakan sejak semula oleh Allah Swt dan juga mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan dalam alam wujud ini. Dalam Hal ini Allah Swt
berfirman :
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ
Artinya : “…Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir” (Q.S: Ar-rod :8)
Oleh
sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan yang
telah ditentukan oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam ini
adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodohnya orang, yang tidak memahami
akan qudrat dan iradat Allah Swt. Dengan alasan, karena ia menghendaki
suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah, berarti dalam garis
besarnya ia tidak rela akan ketetapan dan keputusan Allah yang telah
diberikan kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah
kepadanya bukanlah termasuk suatu keadaan yang tercela.
Jadi
usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah
itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya setiap
manusia harus menerima ketetapan (taqdir) Allah ini harus dengan lapang
dada dan rela hati yang dibarengi dengan ikhtiar.
Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan, Ibnu ‘Atha’illah menegaskan pula dalam hikmah sebagi berikut :
لاَ ِنهَايَةَ ِلمَذَامِكَ اِنْ أَرْجَعَكَ إِليَْكَ وَلاَ تَفْرَغُ مَدَ فَحِكَ إِنْ أَظْهَرَوُجُوْدَهُ عَلَيْكَ
Artinya
“ tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya) kejelekanmu jika
Allah mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya upayamu
sendiri. Dan tidak akan ada habisnya kebaikanmu, jika Allah
memperlihatkan kemurahan-Nya kepadamu”
Tidak
akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang mengerjakan
kejahatan jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab nafsu itu
cenderung pada kejelekan. Sebaliknya orang yang merasa bosan atau tidak
henti-hentinya untuk mengerjakan amal kebaikan jika Allah memberikan
sifat kemurahannya kepadanya.
Penjelasan
menganai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas terhadap amal
usahanya, tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau buruk. Artinya
manusia harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan
atau tindakan diri sendiri. Untuk menegakkan adab Sufi dan kehalusan
budi kepada Allah Swt. Maka hanya kehendak dan daya kekuatan Allahlah
yang ditegakkan dalam setiap pembicaraan tasawuf.
Pemikiran
Ibnu ‘Atha’illah tentang Tuhan tersebut sangat berimplikasi pada
struktur internal kitab al-Hikam tentang ma’rifat. Tema dasar kitab
tersebut adalah ma’rifat. Ia adalah ma’rifat iluminatif dimana disana
terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan
karya itu keutuhan dan pandangan yang mendasarinya.
Dalil
metafisikanya adalah terbaik dalam sufisme: ke Esaan Tuhan sendiri
adalah absolut atau hakiki (al-haqq), atau tidak terbatas. Sementara
selain Dia adalah relatif atau tidak riil, atau terbatas. Ini adalah
doktrin tauhid (Devine Unity), dasar islam yang dinyatakan sebagai
kesimpulan akhir metafisika. Dilihat dari sudut pandang kebenaran
(al-haqq), dunia adalah tidak ada, tidak ada “selain” al-Haqq (the
Real). Konsekuensi-konsekuensi` spiritual mendalam yang mengalir dari
doktrin tauhid ini adalah prosesi realisasi itu sendiri.
Mengenai
tiga prinsip agama Islam, yang disebutkan dalam hadits Nabi yakni Iman
Islam dan Ihsan, memainkan ajaran penting dalam ajaran Sufi Ibnu
‘Atha’illah mengambil syahadah islam dan mengimplikasikannya dalam
tekhnik dzikir yang penting: “manusia terbagi kedalam tiga kategori
kelompok dalam kaitannya dengan penegasan dirinya terhadap keEsaan.
Tuhan dalam Dzikir.
Ketegori
kelompok peratama adalah diantara para pemula pada umumnya. Pada
kategori ini, penegasan keesaan dengan lisan, kata, kepercayaan dan
kepatuhan dengan jalan pencerahan-pencerahan dalam kesaksian keesaan,
bahwa “tidak adan Tuhan selain Allah Muhammad adalah utusaan-Nya, ‘
dan itu adalah Islam”.
Kategori
kelompok kedua, adalah orang-orang yang tepilih tingkat menegah. Pada
kelompok ini, penegasan keesaannya dengan hati, secara bebas dan
dengan kehendak sendiri, dalam keyakinan dan kepatuhan. Dan itu adalah
Iman.
Kategori
kelompok ketiga adalah orang-orang pilihan dari orang-orang yang
terpilih. Pada kelompok ini penegasan keesaan dengan akal (al-aql),
mata (‘iyan), yakin (yakin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dan itu
adalah ihsan.
Selain pandangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah membagi dzikir kedalam tiga tingkatan.
Pertama
dzikir dengan lidah. Ia merupakan dzikir yang sifatnya umum. Kedua
dzikir yang dilakukan dengan hati. Ini adalah dzikir orang-orang
terpilih yang mempunyai keyakinan.
Ketiga
dzikir dengan jiwa. Ini adalah dzikir orang-orang pilihan dari yang
terpilih yang merupakan dzikir orang-orang gnostik (‘arifun) yang
menghentikan dzikir mereka sendiri dengan mengingat (kontemplasi) Tuhan.
b. Metafisika Ibnu ‘Atha’illah
Dalam
berbagai hal yang bertkaitan dengan kehidupan, Ibnu ‘Atha’illah lebih
memprioritaskan pada qalb meskipun sedikit berbeda dengan al-Ghazali
yang lebih mengedepankan Riydhah Fisik.
Nilai-nilai
Metafisika Ibu ‘Atha’illah dapat dilihat dari berbagai macam
pemikirannya, terutama tentang wujud dibalik alam fisik/ragawi, dalam
hal ini Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan : “ sesungguhnya alam dapat
mencukupi kamu dari segi jasmanimu dan dia tidak mencukupi dari segi
ketetapan ruhanimu”
Benda
yang ada di alam sama bentuknya dengan badan manusia (sama dalam
bentuk kasarnya). Oleh karena itu anggota badan selalu bergantung
dengan benda-benda tersebut bahkan mencukupinya. Sebaliknya ruh itu
tidak sejenis badan atau benda-benda alam ini, maka kehidupan dan
pertumbuhan ruh tidak bergantung pada benda-benda dunia akan tetapi
bergantung dan berhubungan kepada terciptanya benda-benda alam tersebut
yakni Allah Swt.
Jadi
benda-bemnda alam itu tidak dapat memuat atau mencukupi kebutuhan
ruhaniayah. Oleh karena itu untuk menyempurnakan kehidupan ruh tersebut
sebaiknya setiap orang haus selalau berdzikir dan menyingkirkan segala
hawa nafsu yang ada pada diri manusia, sehingga ruh itu bersih dari
segala kotoran yang menempel pada kita.
Secara
biologis, manusia tersusun dari dua macam unsur yakni tubuh kasar
(jasmani) dan ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat
menemukan, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih,
mencintai, membenci, dan sejenisnya.
Ibnu
‘Athaillah berpendapat tentang tubuh manusia, ia mengemukakan bahwa
tubuh mansia tercipta dari tanah. Hal ini sudah merupakan kepastian
yang mau tidak mau harus di akuinya. Sedangkan mengenaui ruh, Ibnu
‘Atha’illah tetap berpegang pada al-qur’an, sebagaimana firman Allah
Swt.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
Artinya
: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit”. Q.S. Al-Isra : 85)
Ruh
termasuk urusan dan perkataan Allah Swt. Sendiri yang selain-Nya itu
pasti tidak akan dapat mengetahui, tidak dahulu, tidak sekarang dan
tidak nanti, bahkan tidak untuk selama-lamanya.
Sebenarnya
setinggi-tingginya pengetahuan yang dapat diperoleh mengenai hal ruh
itu ialah bahwa ruh itu berdiam didalam tubuh manusia dan bahwa dengan
adanya ruh itu lalu tampaklah gerak kehidupan dari tubuh itu dan dapat
diketahui pula apa yang diakibatkan oleh adanya kehidupan berfikir,
mencintai, menbenci dan sejenisnya, selain itu yang dapat diketahui
mngenai ruh ialah bahwa ruh itu sewaktu-waktu berpisah dengan tubuh
yang merupakan media kediamannya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh
ruh tersebut lalu menjadi benda mati, beku dan tidak lagi memiliki
gerakan.
Dapat
disimpulkan bahwa ruh yang dikaruniakan kepada manusia itu merupakan
zat yang membedakan antara manusia dan benda-benda yang lain dialam
semesta. dengan adanya ruh manusia menjadi pandai dan alim secara
sendirinya, sehingga seluruh mala’ikat diperintah oleh Allah untuk
tunduk memberi penghormatan kepada manusia tadi. Sebagian ulama Islam
berpendapat bahwa “ruh adalah zat yang memiliki sifat yang tersendiri,
dan berada dalam benda-benda lain. Ia adalah jisim Nuraniyah (Nur atau
cahaya), dan kedudukannya tinggi dalam kehidupan manusia.
Selain
ia dapat meninggalkan tubuh kasar dan dapat menjalar kerongga-rongga,
tubuh itu bagaikan mengalirnya air dalam tangkai yang hijau hidup. Ruh
itu tidak dipisah-pisahkan, atau dibagi. Kepada tubuh ruh memberikan
kesan kehidupan dan apa-apa yang berhubungan dengan adanya kehidupan
itu, selama tubuh masih dapat menerima berdiamnya ruh di dalamnya.
Adanya
zat yang disebut ruh itu seudah disepakati oleh seluruh agama yang
datangnya dari langit (agama samawi) yakni dari Allah Swt. Manusia
meyakinkan adanya ruh itu dan dan mempercayainya sejak mereka mengenal
agama-agamanya.
Bahkan
aliran yag semata-mata berdasarkan materi atau kebendaan, sebelumnya
mereka mempercayainya adanya ruh sampai tersebar tiga abad terakhir,
kemudian mereka mengingkari dan tidak mengakui bagi adanya kenyataan
ruh tersebut.
Paham
materialis mengumumkan bahwa di balik alam materi tidak ada alam lain,
kecuali alam yang sama-sama disaksikan secara empiris, juga tidak ada
benda lain, kecuali benda-benda yang tampak lagi untuk apa yang
dinamakan ruh itu dalam alam semesta yang maujud ini.
Berdasarkan
beberapa keterangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan juga selain
manusia tersusun dari dua unsur yaitu jasad dan ruh atau materi dan
imateri, ia berpandangan bahwa, akal (aql) dan hati (qalb) sangat
berpengaruh dalam kehidupan dan pencapaian ma’rifat. Karena itu Ibnu
‘Atha’illah pempriortiskan keduanya untuk melakukan suluk agar jiwa
dapat bersih dari ketergantungan materi, sebagaimana hikmah yang
ditulisnya :
اُخْرُجْ
مِنْ اَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِصٍ
لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِاْلحَقِّ مجُِيْبًاوَمِنْ
حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا
.
Artinya
: “keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu (materi) yang buruk
dari setiap sifat yang dapat merusak sifat kebudihanmu agar kamu berada
untuk menyambut panggilan Zat yang haq (Allah Swt.), dan dari
kehadirat-Nya adalah lebih dekat.”
B. Pengertian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
Dari
sisi bahasa ‘arif memiliki sighat isim fa’il yang berarti orang yang
mengenal atau mengetahui, Perkataan ‘arif adalah perkataan umum dalam
tasawuf kerenanya ‘arif ditinjau dari segi tasawuf memiliki kriteria
diantaranya:
- a). Cintanya hanya kepada Allah yang agung
- b). tidak pernah mengendahkan yang banyak atau yang sedikit, yakni disegala hal.
- c). mematuhi segala perintah Allah,
- d). terlalu bimbang dari pertukaran keadaan.
Tetapi
Ibnu ‘Atha’illah nampaknya disini menegaskan pengertian ‘arif sebagai
orang yang bijak dalam melakukan segala sesuatu dan mengetahui segala
sesuatu. Seiring pula dengan Abul Abbas Al-Mursi memprediksi pribadi
Ibnu ‘Atha’illah sebagai orang yang bijak dan menjadi tokoh sufi yang
bijak pula.
Adapun
Ma’rifat secara istilah adalah cara mengenal atau mengetahui
eksistensi Tuhan dan orang yang mengetahui eksistensi Tuhan disebut
‘arif. Pengertian tersebut dapat diperluas lagi menjadi cara mengenal
atau mengetahui eksistensi Tuhan melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang
berupa makhluk-makhluk Ciptaan-Nya. Karena itu, pengertian diatas
menegaskan dua penjelasan.
Penjelasan
yang pertama berupa Nur anugrah dari Allah yang diberikan secara
langsung. Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut mawahib atau ‘ain
al-ujd. Ibnu ‘Atha’illah menuliskan hikmah sebagai berikut :
مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ
Artinya : “Barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada akhirnya”.
Cahaya
dalam pengertian disini, adalah Nur Iman (Cahaya ketauhidan) dengan
cahaya ini manusia dapat melihat Allah dengan mata hatinya dan cahaya
tersebut merupakan Hakikat cahaya yang sebenarnya.
Adapun
tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala
sumber, yakni sinar Ilmu, sinar ma’rifat, dan sinar tauhid.
Keterangan ini sesuai dengan hikmah yang ditulisnya :
مَاطَاِلعُ ْاَلاْنوَارِ اْلقُلُوْبُ َواْلاَسْرَارُ
Artinya : “ tempat terbitnya berbagai cahaya Illahi itu ada dalam hati manusia dan rahasia-sahasianya”
Pada
kesempatan lain, Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan ada tiga cahaya yang
merupakan bekal bagi manusia untuk dapat mengetahui kedekatan dengan
Tuhan dan mensifati wujud Tuhan. Tiga macam cahaya tersebut adalah
,pertama Syu’aa’ul Bashiirah yakni dengan akalnya manusia dapat
mengetahui akan hakikat dirinya dan mengarti bahwa Allah itu dekat
dengannya. Kedua, ‘Ainul Bashiirah yakni dengan Ilmunya, manusia bisa
mengetahui bahwa dirinya itu sama sekali tidak ada di dalam wujud Allah.
Ketiga, Haqqul Bashirah, yakni dengan kesaksiannya, manusia bisa
mengetahui bahwa dirinya yang semula tidak ada menjadi ada, kemudian
menjadi tidak ada lagi, sama sekali tidak disamakan dengan ada-Nya Allah
yang tidak berawal dan tidak berakhir.
Dengan ketiga cahaya itulah manusia dapat mengetuhi, menghayati, mensifati tentang Wujud Tuhan.
Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan pula cahaya Illahi yang masuk kedalam hati sebagai Hidayah (petujuk) terdiri dari dua macam hati :
Cahaya
yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum
meresap kedalam hati). Hal ini menyebabkan pandangan seseorang tidak
bisa sepenuhnya tertuju kepada Allah, karena sebagian hati yang lain
masih tertambat pada kesenangan dunia.
Cahaya
yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang
bisa dengan sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya
kepada Allah semata.
Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Ma’rifat berkata :
“Apabila
Iman itu ada dibagian luar hati, maka seorang hamba akan mencintai
dunia dan akhirat, yakni sebagian mencintai Allah dan sebagian
mencintai dirinya. Dan apabila iman telah masuk kedalam lubuk hati
maka dia akan membenci dunianya dan ditolak kehendak hawa nafsunya”
Di
satu sisi Ibnu ‘Atha’illah memaknai cahaya yang ditulis diatas sebagai
“hidayah” dalam melakukan suluk (Ibadah). Sebagaimana yang dilontarkan
oleh Ust Labib Mz. Dalam Kitab Al-Hikam sebagai berikut :
“Apa
bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak
beribadah kepadanya, maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa
berma’rifat kepada Allah, yang dengan Ma’ifatullah ini ia akan
mancapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”
Penjelaskan
kedua, bahwa Ma’rifat dapat diraih dengan cara (tarekat) kesungguhan
dalam melakukan suluk (kesungguhan dalam beribadah), dan kesungguhan
ini merupakan tonggak titik awal untuk mendapatkan puncak akhir dari
Ikhsan (kebajikan spiritual), yang memainkan peran penting dalam ajaran
Sufi.
Pada
kelompok Ikhsan ini, penegasan keesaannya adalah dengan akal (al-aql),
mata (‘iyan), yakin (yaqin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dalam
istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut sebagai makasib atau atau badzi
al-majhud.
Dalam
hal suluk Ibnu Athaillah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa
Ma’rifat bisa dicapai dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk)
kepada Allah. dalam hikmah yang ditulis sebagai berikut :
اَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ اْلبِدَايَاتِ مَجَلاَّتُ النِّهَايَاتِ وَاِنَّ مَنْ
كَانَتْ بِااللهِ ِبدَايَتُهُ كَانَتْ اِلَيْهِ ِنهَايَتُهُ
Artinya
: “ Amma Ba’du : sesungguhnya permulaan (suatu perkara) itu cermin
yang memperlihatkan pada puncak kesudahannya. Dan sesungguhnya orang
sejak permulaannya itu selalu bersandar kepada Allah, maka puncak
kesudahannya akan samapai kepada-Nya,”
Permulaan
yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan permulaan yang jelek
akan membuahkan hasil yang jelak pula. Demikian pula apabila seseorang
itu mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Allah kemudian ia
memulainya dengan cara yang baik dan usaha yang sungguh sungguh
(suluk), niscaya pada akhirnya apa yang diinginkannya itu akan tercapai
dengan baik pula.
Sebaliknya
jika keinginan untuk bertemu dengan Allah tidak dimulai dengan cara
yang baik dan tidak pula disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh
(suluk), maka sudah barang tentu keinginannya itu hanya tinggal
keinginan belaka tanpa ada hasil yang memuaskan.
Dalam
hal penegasan dengan akal (al-aql). Ibnu ‘Atha’illah menuliskan dalam
Kitab Al-Hikam bahwa ‘arif dapat menyaksikan eksistensi Tuhan semata,
sebagaimana Hikmah dibawah ini :
Artinya
: “ bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu
padahal Allah yang mendahirkan (menampakkan) segala sesuatu”.
Artinya : “bagaimana akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu”.
Dalam
hal mata hati (iyan) menjelaskan bahwa satu mata dapat melihat Tajalli
(penzahiran) sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus
berlanjut sepanjang evolusi keruhanian berlangsung (yaitu
pengalaman-pengelaman dalam tingkat-tingkat keruhania menuju Allah).
Mata
yang lainnya dapat melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur
tauhid dan keEsaan. Seorang salik yang telah masuk ke peringkat “disisi
Allah” saja yang dapat melihat ke Esaan yang mutlak (yaitu Allah)
yaitu mereka yang berada dalam peringkat tinggi yaitu Tajalli Dzat.
Dalam hal ini Ibnu athaillah menyebutkan :
فَاِنَّهَا لاَتَعْمَىْ اْلاَبصَْارُ وَلكِنْ تَعْمَىْ اْلقُلُوْبُ التَّىِ فِى الصُّدُوْرِ
Artinya : “ Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang buta) yang ada dalam rongga dada”.
Sedangkan
dalam hal Musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman
Al-Makky r.a. arti yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi
qalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya.
Sebagaimana perkiraan kilatan dalam kilatan yang bersambung. Seperti
malam yang gelap dilampaui cahaya siang.
Begitupun
qalbu, apabila keadaan tajalli tampat terus menerus, akan menjadi
siang yang nikmat, tiada malam sama sekali. Sejalan dengan Ibnu
‘Atha’illah yang menyebutkan :
Artinya : “Bagaimana mungkin dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) yang tampak dhahir pada segala sesuatu”
Berangkat
dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahawa ma’rifat pandangan Ibnu
Athai’llah adalah salah satu tujuan dari tarekat atau tasawuf yang
dapat diperoleh dengan dua jalan.
Pertama,
adalah mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang
akan diberi anugrah tersebut.
Kedua,
adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat
diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah
al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih
lainnya.
C. Macam macam Ma’rifat Pandangan Ibnu Atha’illah
Karya
Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah (komentar)
dari beberap komentator atau pensyarah. Hikam adalah jamak dari
hikmah yaitu kitab khusus yang menerangkan tiga bagian pokok;
aforisme, risalah dan munajat (do’a). aforisme atau aksioma-aksioma
spiritual merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi dari
seluruh bagian lainnya, dimana muatan dua bagian lainnya
terbahas/tersaji dalam bagain aforisme.
Aforisme
mengenai Ma’rifat adalah tema dasar kitab tersebut. Ia adalah ma’rifat
iluminatif, dimana di sana terdapat benang yang merentang batu-batu
permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan yang
menadsarinya.
Aforisme Tentang Tingkatan Ma’rifat
Aforisme-aforisme
yang mendasar mengenai Ma’rifat, dapat dilihat dari
tinggkatan-tingkatan sufisme yang ditulis Ibnu Atha’ilah yakni dibagi
mejadi tiga tingakatan yaitu : Sinar mata hati (syu’aa’u lbashirah) atau
dapat disebut cahaya akal, mata hati (Ainul bashirah) atau dapat
disebut Cahaya Ilmu dan Hakikat Mata hati (Haqqul bashirah) atau dapat
disebut cahaya Illahi
“Sinar
Mata hati itu dapat memeperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu.
Dan Mata hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu
karena wujud (adanya) Allah, dan Hakikat Mata hati itulah yang
menunjukan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ‘adam (ketiadaanmu) dan
bukan pula wujudmu.”
“Fikiran
itu dua macam : fikiran yang timbul dari iman percaya, dan fikiran
yang timbul karena melihat kenyataan, maka bagi yang pertama bagi orang
salik yang mengambil dalil : Adanya makhluk menunjukan adamnya Khalik,
ialah mereka ahli I’tibar. Sedangkan yang kedua mereka yang terbuka
hijab hingga dapat melihat kenyataan dengan mata hatinya.”
Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang menunjukan adanya benda yang dijadikan.
Mengenai
yang pertama dapat disebut dengan ma’rifat orang salih dan mengenai
yang kedua dapat disebut ma’rifat orang mahjdzub Orang yang memfikirkan
adanya alam, ada yang langsung melihat pada yang menjadikan, sehingga
ia berkata : Karena adanya pencipta, maka terjadilah yang dicipta, dan
sebaliknya ada yang terpengaruh oleh bendanya, sehingga berkata adanya
ciptaan ini menunjukan adanya pencipta.
“hakikat
ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal
(Singkat), tetapi setelah tertangkap terjadinya penerangan
(keterangan)nya ayat : maka apabila kami bacakan, ikutilah bacaannya,
kemudian kami sedndiri yang akan menerangkannya (penjelasan perincian).
Ilmu
adalah sesuatu yang didapat dengan belajar, dan hakikat dari sebuah
ilmu adalah ilham dari Allah kedalam hati tanpa perantara. Hakikat ilmu
itu dapat juga disebut ilmu ladunni.
D. Metode Pencapaian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
“Seorang
salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin
berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara
hakikatnya (hawatif al haqiah) segera memeperingatkan kepadanya,
“bukan itu tujuan yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!”
demikian pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan
diperingatkan oleh hakikatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian
batu ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.”
Aforisme Tentang Pencapaian Ma’rifat
اَلعَْاِرفُ لاَ يَزُوْلُ اْضطِرَارُهُ وَلاَ يَكُوْنُ مَعَ غَيْرِاللهِ قَرَارُهُ
“Seorang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa tenang, atau bersandar pada sesuatu selain Allah.”
Pernah
terlintas tidak dalam pikiran Anda ,siapa sih yang pertama kali
melakukan shalat lima waktu? Mungkin bagi orang awam, termasuk saya
sebelum membaca salah satu buku karangan Dr. Ibrahim Rabi’ Muhamad
tentang “Yang Pertama Berjasa Dalam sejarah dan peradaban Islam” pasti
akan menjawab Nabi Muhammad SAW. Menurut logika jelas sekali
kebenarannya, karena Beliaulah yang pertama
kali diperintahkan oleh Alloh SWT untuk melakukan shalat lima waktu.
Namun, fakta mengatakan lain. Perintah shalat sebenarnya sudah ada dari
sejak zaman Nabi Adam as bahkan sampai zaman Nabi Musa pun perintah
shalat itu sudah dilakukan.
Dari
beberapa sumber hadits mengatakan bahwa umat Nabi Musa diperintahkan
oleh Alloh SWT untuk melakukan shalat sebanyak 70 kali dalam sehari.
Pantas saja ketika Nabi Muhammad melakukan isra dan mi’raj, Nabi Musa
menyuruh Beliau agar meminta keringanan perintah shalat karena Nabi Musa
as dahulu pernah merasakan beratnya perintah itu karena umatnya yang
pembangkang (Bani Israel yang merupakan nenek moyang orang Yahudi).
Singkat cerita, pada akhirnya perintah shalat itu pun berkurang menjadi
lima kali dalam sehari setelah Nabi Muhammad berupaya meminta keringanan
shalat kepada Alloh untuk umatnya.Berikut adalah manusia pertama kali yang mengerjakan shalat lima waktu, yakni:
Nabi adam as adalah manusia pertama yang melaksanakan Shalat Shubuh
Beliau adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Alloh SWT dan merupakan nenek moyang kita semua. Nabi Adam as selalu beribadah kepada Alloh SWT ketika terbit fajar, ia melakukan shalat dua rakaat sebagai tanda syukurnya kepada Alloh atas hilangnya kegelapan malam, atas hilangnya kemaksiatan, atas datangnya cahaya siang, dan sebagai wujud permintaan taubatnya.
Nabi Ibrahim as adalah manusia pertama yang mengerjakan Shalat Dzuhur
Dengan penuh keimanan, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Alloh SWT untuk menyembelih anak kesayangan yaitu nabi Ismail as. Pada saat itulah kebesaran Alloh muncul dengan mengganti Nabi Ismail dengan seekor kambing sebagai tebusan Agung. Nabi Ibrahim hampir tidak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya.Beliau lalu mengerjakan shalat empat rakaat sebagai tanda syukur kepada Alloh atas keselamatan anaknya yang bernama Ismail as.
Nabi Ibrahim as adalah manusia pertama yang melaksanakan Shalat Ashar
Ada yang ingat nggak cerita Nabi Ibrahim as? Ketika itu beliau sedang mencari tahu siapakah Tuhan dia yang patut disembahnya, setelah beberapa lama mengamati alam semesta dan seisinya. Pada akhirnya beliau di berikan bukti nyata keberadaan Tuhan dengan diperlihatkannya kebesaran Alloh melalui Burung yang pada mulanya Tuhan memerintahkan beliau untuk menyembelihnya dan memotong burung tersebut menjadi empat bagian, pada setiap bagian Alloh menyuruh Nabi Ibrahim untuk meletakan setiap bagian potongan burung tersebut di empat gunung yang berbeda. Singkat cerita, Alloh dengan kebesarannya bisa menyatukan kembali bagian potongan burung yang terpisah jauh dan akhirnya burung tersebut hidup kembali. Kemudian Nabi Ibrahim as bertaubat pada waktu tergelincirnya matahari. Beliau mengerjakan shalat sebanyak empat rakaat sebagai tanda syukur atas pemberian ilmu pengetahuan dan hikmah baginya.
Nabi Isa as adalah manusia pertama yang mengerjakan Shalat Maghrib
Peristiwa tersebut terjadi ketika Alloh mengangkat dan menyelamatkannya dari kejahatan bangsa Yahudi setelah tenggelamnya matahari. Lalu beliau melakukan shalat sebanyak tiga rakaat sebagai tanda syukur atas keselamatan yang dianugrahkan baginya dari segala tipu daya musuh. Juga sebagai tanda syukur atas dinaikanya ke langit sehingga terlepas dari berbagai urusan keduniaan.
Nabi Yunus adalah manusia pertama yang mengerjakan Shalat Isya
Peristiwa itu terjadi ketika Alloh menyelamatkan beliau dari perut ikan Hiu. Yaitu ketika hilangnya warna merah dari ufuk barat dan bintang-bintang pun telah bergemerlapan di atas langit. Kemudian beliau mengerjakan Shalat Isya sebagai tanda syukur atas keselamatannya dari empat kegelapan, yaitu; pertama, kegelapan malam; kedua, kegelapan awan; ketiga, kegelapan lautan; dan keempat adalah kegelapan di dalam perut Ikan Hiu
Didorong semangat untuk
mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk
Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan
Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah
kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke
berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu”
(Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”,
bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang
akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang
menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia
pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat
dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat
dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi.
"Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup.
Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir. Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya.
Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala. Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.” Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa.
Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya. Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya, yang digambarkan bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya. Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais.
Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susan atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”. Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi. Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani sebagai berikut: Umar : Apa yang anda kerjakan disini ? Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala Umar : Siapa nama Anda? Uwais : Aku adalah hamba Allah Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi Uwais : Silahkan saja. Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak. Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus.
Setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua. Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda. Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba Allah Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah. Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang untuk anda pakai. Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya. Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan kesendirian (pengasingan diri).
Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu? Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya. Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan. Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya. “Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku telah mengenal rohmmu”, demikian jawan Uwais. Uwais : kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan mentaati kata hatinya. Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H). Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hri namanya banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya : Kawan tercinta kekasih Allah; Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani. Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja, Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah; Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta Di tanah Yaman, Uwais alQarani Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi.
Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat. Doa dan Dzikir Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya. Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”. Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman. Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang pensasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita. Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali lipat.” Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan. Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt. Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan mnyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt.
Namun yang dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan meningat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa yang paling utama pada setiap orang yang bramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan. Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan sipemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi. Yanag apada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw. Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu.
Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga termaterialisasi dan menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi. Wallahu a’lam bis-shawab.
"Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup.
Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir. Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya.
Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala. Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.” Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa.
Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya. Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya, yang digambarkan bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya. Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais.
Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susan atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”. Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi. Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani sebagai berikut: Umar : Apa yang anda kerjakan disini ? Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala Umar : Siapa nama Anda? Uwais : Aku adalah hamba Allah Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi Uwais : Silahkan saja. Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak. Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus.
Setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua. Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda. Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba Allah Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah. Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang untuk anda pakai. Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya. Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan kesendirian (pengasingan diri).
Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu? Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya. Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan. Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya. “Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku telah mengenal rohmmu”, demikian jawan Uwais. Uwais : kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan mentaati kata hatinya. Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H). Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hri namanya banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya : Kawan tercinta kekasih Allah; Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani. Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja, Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah; Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta Di tanah Yaman, Uwais alQarani Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi.
Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat. Doa dan Dzikir Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya. Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”. Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman. Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang pensasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita. Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali lipat.” Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan. Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt. Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan mnyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt.
Namun yang dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan meningat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa yang paling utama pada setiap orang yang bramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan. Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan sipemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi. Yanag apada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw. Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu.
Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga termaterialisasi dan menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi. Wallahu a’lam bis-shawab.
Sebelum menyentuh makna bacaan shalat yang luar biasa, termasuk
juga aspek “olah rohani” yang dapat melahirkan ketenangan jiwa, atau
“jalinan komunikasi” antara hamba dengan Tuhannya, secara fisik shalat
pun mengandung banyak keajaiban.
Setiap gerakan shalat yang dicontohkan Rasulullah SAW sarat akan hikmah dan bermanfaat bagi kesehatan. Syaratnya, semua gerak tersebut dilakukan dengan benar, tumaninah serta istiqamah (konsisten dilakukan).
Dalam buku Mukjizat Gerakan Shalat, diungkapkan bahwa gerakan shalat dapat melenturkan urat syaraf dan mengaktifkan sistem keringat dan sistem pemanas tubuh. Selain itu juga membuka pintu oksigen ke otak, mengeluarkan muatan listrik negatif dari tubuh, membiasakan pembuluh darah halus di otak mendapatkan tekanan tinggi, serta membuka pembuluh darah di bagian dalam tubuh (arteri jantung).
Kita dapat menganalisis kebenaran sabda Rasulullah SAW dalam kisah di awal.
“Jika engkau berdiri untuk melaksanakan shalat, maka bertakbirlah.”
Saat takbir Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ke atas hingga sejajar dengan bahu-bahunya (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar). Takbir ini dilakukan ketika hendak rukuk, dan ketika bangkit dari rukuk.
Beliau pun mengangkat kedua tangannya ketika sujud. Apa maknanya? Pada saat kita mengangkat tangan sejajar bahu, maka otomatis kita membuka dada, memberikan aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat di lengan untuk dialirkan ke bagian otak pengatur keseimbangan tubuh, membuka mata dan telinga kita, sehingga keseimbangan tubuh terjaga.
“Rukuklah dengan tenang (tumaninah).” Ketika rukuk, Rasulullah SAW meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut (HR Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash). Apa maknanya? Rukuk yang dilakukan dengan tenang dan maksimal, dapat merawat kelenturan tulang belakang yang berisi sumsum tulang belakang (sebagai syaraf sentral manusia) beserta aliran darahnya. Rukuk pun dapat memelihara kelenturan tuas sistem keringat yang terdapat di pungggung, pinggang, paha dan betis belakang. Demikian pula tulang leher, tengkuk dan saluran syaraf memori dapat terjaga kelenturannya dengan rukuk. Kelenturan syaraf memori dapat dijaga dengan mengangkat kepala secara maksimal dengan mata mengharap ke tempat sujud.
“Lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegak.” Apa maknanya? Saat berdiri dari dengan mengangkat tangan, darah dari kepala akan turun ke bawah, sehingga bagian pangkal otak yang mengatur keseimbangan berkurang tekanan darahnya. Hal ini dapat menjaga syaraf keseimbangan tubuh dan berguna mencegah pingsan secara tiba-tiba.
“Selepas itu, sujudlah dengan tenang.” Apa maknanya? Bila dilakukan dengan benar dan lama, sujud dapat memaksimalkan aliran darah dan oksigen ke otak atau kepala, termasuk pula ke mata, telinga, leher, dan pundak, serta hati. Cara seperti ini efektif untuk membongkar sumbatan pembuluh darah di jantung, sehingga resiko terkena jantung koroner dapat diminimalisasi.
“Kemudian bangunlah hingga engkau duduk dengan tenang.” Apa maknanya? Cara duduk di antara dua sujud dapat menyeimbangkan sistem elektrik serta syaraf keseimbangan tubuh kita. Selain dapat menjaga kelenturan syaraf di bagian paha dalam, cekungan lutut, cekungan betis, sampai jari-jari kaki. Subhanallah!
Masih ada gerakan-gerakan shalat lainnya yang pasti memiliki segudang keutamaan, termasuk keutamaan wudhu. Semua ini memperlihatkan bahwa shalat adalah anugerah terindah dari Allah SWT bagi hambanya yang beriman.
Setiap gerakan shalat yang dicontohkan Rasulullah SAW sarat akan hikmah dan bermanfaat bagi kesehatan. Syaratnya, semua gerak tersebut dilakukan dengan benar, tumaninah serta istiqamah (konsisten dilakukan).
Dalam buku Mukjizat Gerakan Shalat, diungkapkan bahwa gerakan shalat dapat melenturkan urat syaraf dan mengaktifkan sistem keringat dan sistem pemanas tubuh. Selain itu juga membuka pintu oksigen ke otak, mengeluarkan muatan listrik negatif dari tubuh, membiasakan pembuluh darah halus di otak mendapatkan tekanan tinggi, serta membuka pembuluh darah di bagian dalam tubuh (arteri jantung).
Kita dapat menganalisis kebenaran sabda Rasulullah SAW dalam kisah di awal.
“Jika engkau berdiri untuk melaksanakan shalat, maka bertakbirlah.”
Saat takbir Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ke atas hingga sejajar dengan bahu-bahunya (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar). Takbir ini dilakukan ketika hendak rukuk, dan ketika bangkit dari rukuk.
Beliau pun mengangkat kedua tangannya ketika sujud. Apa maknanya? Pada saat kita mengangkat tangan sejajar bahu, maka otomatis kita membuka dada, memberikan aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat di lengan untuk dialirkan ke bagian otak pengatur keseimbangan tubuh, membuka mata dan telinga kita, sehingga keseimbangan tubuh terjaga.
“Rukuklah dengan tenang (tumaninah).” Ketika rukuk, Rasulullah SAW meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut (HR Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash). Apa maknanya? Rukuk yang dilakukan dengan tenang dan maksimal, dapat merawat kelenturan tulang belakang yang berisi sumsum tulang belakang (sebagai syaraf sentral manusia) beserta aliran darahnya. Rukuk pun dapat memelihara kelenturan tuas sistem keringat yang terdapat di pungggung, pinggang, paha dan betis belakang. Demikian pula tulang leher, tengkuk dan saluran syaraf memori dapat terjaga kelenturannya dengan rukuk. Kelenturan syaraf memori dapat dijaga dengan mengangkat kepala secara maksimal dengan mata mengharap ke tempat sujud.
“Lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegak.” Apa maknanya? Saat berdiri dari dengan mengangkat tangan, darah dari kepala akan turun ke bawah, sehingga bagian pangkal otak yang mengatur keseimbangan berkurang tekanan darahnya. Hal ini dapat menjaga syaraf keseimbangan tubuh dan berguna mencegah pingsan secara tiba-tiba.
“Selepas itu, sujudlah dengan tenang.” Apa maknanya? Bila dilakukan dengan benar dan lama, sujud dapat memaksimalkan aliran darah dan oksigen ke otak atau kepala, termasuk pula ke mata, telinga, leher, dan pundak, serta hati. Cara seperti ini efektif untuk membongkar sumbatan pembuluh darah di jantung, sehingga resiko terkena jantung koroner dapat diminimalisasi.
“Kemudian bangunlah hingga engkau duduk dengan tenang.” Apa maknanya? Cara duduk di antara dua sujud dapat menyeimbangkan sistem elektrik serta syaraf keseimbangan tubuh kita. Selain dapat menjaga kelenturan syaraf di bagian paha dalam, cekungan lutut, cekungan betis, sampai jari-jari kaki. Subhanallah!
Masih ada gerakan-gerakan shalat lainnya yang pasti memiliki segudang keutamaan, termasuk keutamaan wudhu. Semua ini memperlihatkan bahwa shalat adalah anugerah terindah dari Allah SWT bagi hambanya yang beriman.
Qanaah ialah menerima dengan cukup tidak kurang dan selalu disyukuri seberapapun nikmat yang diberikan allah SWT kepadanya.
Qanaah itu mengandung lima perkara:
Itulah yang dinamai Qanaah, dan itulah kekayaan yang sebenarnya.
Rasulullah saw bersabda:
"Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta,, kekayaan ialah kekayaan jiwa".
Ertinya: Diri yang kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu haloba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus terusan. Kerana kalau masih meminta tambah, tandanya masih miskin.
Rasulullah saw bersabda juga:
Artinya:
"Qanaah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan lenyap". (HR. Thabarai dari Jabir).
Orang yang mempunyai sifat qanaah telah memagar hartanya sekadar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar fikirannya kepada yang lain.
Barangsiapa yang telah beroleh rezeki, dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi. Tuan tidak dilarang bekerja mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran harta telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan. Bekerjalah, kerana manusia dikirim ke dunia buat bekerja, tetapi tenangkan hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu ada kalah dan menang. Jadi tuan bekerja lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja lantaran orang hidup tak boleh menganggur.
Hal ini kerap menerbitkan salah sangka dalam kalangan mereka yang tidak faha rahsia agama. Mereka lemparkan kepada agama suatu tuduhan, bahawa agama memundurkan hati bergerak. Agama membawa manusia malas, sebab dia sentiasa mengajak umatnya membenci dunia, terima saja apa yang ada, terima saja takdir, jangan berikhtiar melepaskan diri. Sebab itu, bangsa yang tidak beragama beroleh kekayaan, bangsa yang zuhud terlempar kepada kemiskinan katanya!
Tuduhan demikian terbit lantaran salah perasangka pemeluk agama sendiri. Mereka sangka bahawa yang bernama qanaah ialah menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak berikhtiar lagi. Mereka namai taqwa orang yang hanya karam dalam mihrab. Mereka katakan soleh orang yang menjunjung serban besar, tetapi tidak memperdulikan gerak geri dunia. Mengatur hidup, mengatur kepandaian, ilmu dunia, semuanya mereka sangka tidak boleh dilarang agama! Sebab kesalahan persangkaan pemeluk agama itu, salah pulalah persangkaan orang yang tidak terdidik dengan agama, bukan kepada pemeluk agama yang salah pasang itu, tetapi salah sangka kepada agama sendiri.
Intisari pelajaran agama ialah menyuruh qanaah itu, qanaah hati, bukan qanaah ikhtiar. Sebab itu terdapatlah dalam masa sahabat-sahabat Rasulullah saw, orang kaya-kaya, berwang, berharta berbilion, beruma sewa, berunta banyak, memperniagakan harta benda keluar negara, dan mereka qanaah juga. Faedah qanaah amat besar di waktu harta itu terbang dengan tiba-tiba.
Sri baginda ratu Belanda Wilhelmina seorang ratu yang masyhur mempunyai pendirian qanaah ini. Puteri Yuliana, disuruh mempelajari segala macam kepandaian yang perlu untuk menjaga hidup sehari-hari, disuruh belajar menjahit, memasak, menyulam dan lain-lain. Ketika ditanyai orang kepada baginda apa maksud yang demiian, baginda menjawab kira-kira demikian.
"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempuh apa yang akan terjadi".
"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempu apa yang akan terjadi".
Inilah pendirian yang sepantasnya bagi seorang raja, terutama di zaman demokrasi, kerani nasib tidak dapat ditentukan, berapa banyak raja yang lebih besar dari Ratu Wilhelmina, dan Yuliana terpaksa meninggalkan singgahsananya. Pelajari hidup bersakit, kerana nikmat tidaklah kekal.
Maksud qanaah itu amatlah luasnya. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat, sebab entah terbang pula nikmat itu kelak. Dalam hal yang demikian disuruh bekerja, kewajipan belum berakhir. Kita bekerja bukan lantaran meminta tambahan yang telah ada dan tak merasa cukup pada apa yang dalam tangan, tetapi kita bekerja, sebab orang hidup mesti bekerja.
Itulah maksud qanaah.
Nyatalah salah persangkaan orang yang mengatakan qanaah ini melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi qanaah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang betul-betul (enerti) mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak, mantapkan fikiran, teguhkan hati, bertawakal kepada Tuhan, mengharapkan pertolonganNya, serta tidak merasa kesal jika ada keinginan yang tidak berhasil, atau yang dicari tidak dapat.
Kenapa kita ragu-ragu, padahal semuanya sudah tertulis lebih dahulu pada azal, menurut jalan sebab dan musabab.
Ada orang yang putus asa dan membuat bermacam-macam 'boleh jadi' terhadap Tuhan. Dan berkata:
"Boleh jadi saya telah ditentukan bernasib buruk, apa guna saya berikhtiar lagi. Boleh jadi saya telah ditentukan masuk neraka, apa guna saya bersembahyang".
Ini namanya syu'uahan, jahat sangka dengan Tuhan, bukan husnus zhan, baik sangka. Lebih baik merdekakan fikiran diri dari syu'uzhan itu. Faham demikian tidak berasal dari pelajaran agama, tetapi dari pelajaran falsafah yang timbul setalah ulama-ulama Islam bertengkar-tengkar tentang takdir, tentang azali, tentang qadha dan qadar.
Tak mungkin Allah akan begitu kejam, menentukan saja seorang mesti masuk neraka, padahal dia mengikut perintah Allah?
Kembali kepada qanaah tadi, maka yang sebaik-baiknya ubat buat menghindarkan segala keraguan dalam hidup, ialah berikhtiar an percaya kepada takdir. Hingga apa pun bahaya yang datang kita tidak syak dan ragu Kita tidak lupa ketika untung, dan tidak cemas ketika rugi. Siapa yang tidak berperasaan qanaah, ertiya dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat tidak, fikirannya kacau, lekas marah,penyusah, dan bilamana tidak, fikirannya kacau, lekas marah, penyusah,dan bilamana beruntung lekas pembangga. Dia lari dari yang ditakutiya, tetapi yang ditakuti itu berdiri di muka pintu, sebagaimana orang yang takut mengingat-ingat, barang yang diingat-ingat, kian dicubanya melupakan teringat itu, kian teguh dia berdiri di ruang matanya.
Ini semuanya tidak terjadi pada orang beriman yang redha menerima apa yang tertentu dalam azal. Meskipun susah atau senang, miskin atau kaya, semua hanya pada pandangan orang luar. Sebab dia sendiri adalah nikmat, dan kekayaan dalam perbendaharaan yang tiada ternilai harganya, 'pada lahirnya azab, pada batinnya rahmat'. Jika ditimpa susah, dia senang sebab dapat mengingat kelemahan dirinya dan kekuatan Tuhannya, jika dihujani rahmat, dia senang pula, sebab dapat bersyukur.
Qanaah, adalah tiang kekayaan yang sejati. Gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya. Tidak dapatlah disamakan lurah dengan bukit, tenang dengan gelisah, kesusahan dan kesukaan, kemenangan dan kekalahan, putus asa dan cita-cita. Tak dapat disamakan orang yang sukses dengan orang yang muflis.
Keadaan-keadaan yang terpuji itu terletak pada qanaah, dan semua yang tercela ini terletak pada gelisah.
Qanaah itu mengandung lima perkara:
- Menerima dengan rela akan apa yang ada.
- Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
- Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
- Bertawakal kepada Tuhan.
- Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Itulah yang dinamai Qanaah, dan itulah kekayaan yang sebenarnya.
Rasulullah saw bersabda:
"Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta,, kekayaan ialah kekayaan jiwa".
Ertinya: Diri yang kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu haloba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus terusan. Kerana kalau masih meminta tambah, tandanya masih miskin.
Rasulullah saw bersabda juga:
Artinya:
"Qanaah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan lenyap". (HR. Thabarai dari Jabir).
Orang yang mempunyai sifat qanaah telah memagar hartanya sekadar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar fikirannya kepada yang lain.
Barangsiapa yang telah beroleh rezeki, dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi. Tuan tidak dilarang bekerja mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran harta telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan. Bekerjalah, kerana manusia dikirim ke dunia buat bekerja, tetapi tenangkan hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu ada kalah dan menang. Jadi tuan bekerja lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja lantaran orang hidup tak boleh menganggur.
Hal ini kerap menerbitkan salah sangka dalam kalangan mereka yang tidak faha rahsia agama. Mereka lemparkan kepada agama suatu tuduhan, bahawa agama memundurkan hati bergerak. Agama membawa manusia malas, sebab dia sentiasa mengajak umatnya membenci dunia, terima saja apa yang ada, terima saja takdir, jangan berikhtiar melepaskan diri. Sebab itu, bangsa yang tidak beragama beroleh kekayaan, bangsa yang zuhud terlempar kepada kemiskinan katanya!
Tuduhan demikian terbit lantaran salah perasangka pemeluk agama sendiri. Mereka sangka bahawa yang bernama qanaah ialah menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak berikhtiar lagi. Mereka namai taqwa orang yang hanya karam dalam mihrab. Mereka katakan soleh orang yang menjunjung serban besar, tetapi tidak memperdulikan gerak geri dunia. Mengatur hidup, mengatur kepandaian, ilmu dunia, semuanya mereka sangka tidak boleh dilarang agama! Sebab kesalahan persangkaan pemeluk agama itu, salah pulalah persangkaan orang yang tidak terdidik dengan agama, bukan kepada pemeluk agama yang salah pasang itu, tetapi salah sangka kepada agama sendiri.
Intisari pelajaran agama ialah menyuruh qanaah itu, qanaah hati, bukan qanaah ikhtiar. Sebab itu terdapatlah dalam masa sahabat-sahabat Rasulullah saw, orang kaya-kaya, berwang, berharta berbilion, beruma sewa, berunta banyak, memperniagakan harta benda keluar negara, dan mereka qanaah juga. Faedah qanaah amat besar di waktu harta itu terbang dengan tiba-tiba.
Sri baginda ratu Belanda Wilhelmina seorang ratu yang masyhur mempunyai pendirian qanaah ini. Puteri Yuliana, disuruh mempelajari segala macam kepandaian yang perlu untuk menjaga hidup sehari-hari, disuruh belajar menjahit, memasak, menyulam dan lain-lain. Ketika ditanyai orang kepada baginda apa maksud yang demiian, baginda menjawab kira-kira demikian.
"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempuh apa yang akan terjadi".
"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempu apa yang akan terjadi".
Inilah pendirian yang sepantasnya bagi seorang raja, terutama di zaman demokrasi, kerani nasib tidak dapat ditentukan, berapa banyak raja yang lebih besar dari Ratu Wilhelmina, dan Yuliana terpaksa meninggalkan singgahsananya. Pelajari hidup bersakit, kerana nikmat tidaklah kekal.
Maksud qanaah itu amatlah luasnya. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat, sebab entah terbang pula nikmat itu kelak. Dalam hal yang demikian disuruh bekerja, kewajipan belum berakhir. Kita bekerja bukan lantaran meminta tambahan yang telah ada dan tak merasa cukup pada apa yang dalam tangan, tetapi kita bekerja, sebab orang hidup mesti bekerja.
Itulah maksud qanaah.
Nyatalah salah persangkaan orang yang mengatakan qanaah ini melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi qanaah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang betul-betul (enerti) mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak, mantapkan fikiran, teguhkan hati, bertawakal kepada Tuhan, mengharapkan pertolonganNya, serta tidak merasa kesal jika ada keinginan yang tidak berhasil, atau yang dicari tidak dapat.
Kenapa kita ragu-ragu, padahal semuanya sudah tertulis lebih dahulu pada azal, menurut jalan sebab dan musabab.
Ada orang yang putus asa dan membuat bermacam-macam 'boleh jadi' terhadap Tuhan. Dan berkata:
"Boleh jadi saya telah ditentukan bernasib buruk, apa guna saya berikhtiar lagi. Boleh jadi saya telah ditentukan masuk neraka, apa guna saya bersembahyang".
Ini namanya syu'uahan, jahat sangka dengan Tuhan, bukan husnus zhan, baik sangka. Lebih baik merdekakan fikiran diri dari syu'uzhan itu. Faham demikian tidak berasal dari pelajaran agama, tetapi dari pelajaran falsafah yang timbul setalah ulama-ulama Islam bertengkar-tengkar tentang takdir, tentang azali, tentang qadha dan qadar.
Tak mungkin Allah akan begitu kejam, menentukan saja seorang mesti masuk neraka, padahal dia mengikut perintah Allah?
Kembali kepada qanaah tadi, maka yang sebaik-baiknya ubat buat menghindarkan segala keraguan dalam hidup, ialah berikhtiar an percaya kepada takdir. Hingga apa pun bahaya yang datang kita tidak syak dan ragu Kita tidak lupa ketika untung, dan tidak cemas ketika rugi. Siapa yang tidak berperasaan qanaah, ertiya dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat tidak, fikirannya kacau, lekas marah,penyusah, dan bilamana tidak, fikirannya kacau, lekas marah, penyusah,dan bilamana beruntung lekas pembangga. Dia lari dari yang ditakutiya, tetapi yang ditakuti itu berdiri di muka pintu, sebagaimana orang yang takut mengingat-ingat, barang yang diingat-ingat, kian dicubanya melupakan teringat itu, kian teguh dia berdiri di ruang matanya.
Ini semuanya tidak terjadi pada orang beriman yang redha menerima apa yang tertentu dalam azal. Meskipun susah atau senang, miskin atau kaya, semua hanya pada pandangan orang luar. Sebab dia sendiri adalah nikmat, dan kekayaan dalam perbendaharaan yang tiada ternilai harganya, 'pada lahirnya azab, pada batinnya rahmat'. Jika ditimpa susah, dia senang sebab dapat mengingat kelemahan dirinya dan kekuatan Tuhannya, jika dihujani rahmat, dia senang pula, sebab dapat bersyukur.
Qanaah, adalah tiang kekayaan yang sejati. Gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya. Tidak dapatlah disamakan lurah dengan bukit, tenang dengan gelisah, kesusahan dan kesukaan, kemenangan dan kekalahan, putus asa dan cita-cita. Tak dapat disamakan orang yang sukses dengan orang yang muflis.
Keadaan-keadaan yang terpuji itu terletak pada qanaah, dan semua yang tercela ini terletak pada gelisah.