Archive for Maart 2013

Konsep pendidikan pada masa penjajahan Belanda

Donderdag 07 Maart 2013
Posted by Unknown
Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika menerapkan pola pendidikan modern. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah ongko loro dan ongko siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya. 
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini. Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk memperoleh kesempatan ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun militer pemerintah Kolonial Belanda.
Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi. 
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja. Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya. 
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri. 
Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya. Menjadi guru toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.  
Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya. 
Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak. 
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah. 
Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.
Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.

KonsepTasawuf Ibnu Athoillah As Sakandari

Woensdag 06 Maart 2013
Posted by Unknown
Pemikiran Ibnu Atha’illah
Berdasarkan biografi dan karya-karya tulis Ibnu Atha’ilah, sudah jelas, bahwa ia seorang ahli hukum mazhab mailki, ia juga sebagai seorang guru sufi tarekat Syadziliyah. Oleh sebab itu sepantasnya ia dijuluki sebagai ahli Hikmah, yang melahirkan salah satu dari pemikiranya adalah Kitab al-Hikam.
Untuk memudahkan mendalami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, perlu memahami terlebih dahulu perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, mulai dari karir hingga wafatnya. Hal ini dilakukan untuk memperjelas dalam mengklasifikasikan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, yang sedikit banyak berorientasi pada nilai-nilai Taswuf yang melekat pada dirinya.
Perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dapat diketahui dari karya tulisnya al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan  ciri khas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah pada khusunya dalam paradigma Tasawuf. Diantara para tokoh sufi  yang lain, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, tetapi diseimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadat dan suluk, artinya diantara syari’at, tharikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya tulis dan warisan spiritualnya dan selain ia seoarang ahli hukum yang bermazhab Maliki dan sebagai penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki posisi sebagai  dalam tahrekat Sydziliyah.
Corak Pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya ia lebih menekankan nilai Tasawuf  pada Ma’rifat.  Selain itu juga bahwa Ibnu ‘Atha’illah merupakan guru ketiga dari taharikat Syadziliyah, maka ia memilki pandangan tasawuf pada kahususnya tentang ma’rifat berdasarkan pandangan tarekat Syadziliyah.
Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah. dan mengenal rahmat Illahi.  Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt. dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan  kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.
Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan samapi menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus memakai baju lusush yang tidak berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.
Kelima,  berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Abu hasan al-Syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari ‘langit’, juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di ‘bumi’ ini. Beraktivitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.
Keenam,  tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat aspek penting  yakni berakhlak dengan akhlak Allah Swt., senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’riaft al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan
1). Mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha  dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.
2). Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
Karena itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah ini akan berangkat dari teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta tulisan tulisan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Hikam.
Alasan digunakannya teori ini, karena Kitab Al-Hikam meletakan Transendental mengenai eksistensi Tuhan secara empiris,  sehingga dari sini kita dapat memahami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dari penglaman puncak (Fick eksperience).
Ibnu ‘Atha’illah telah memahami ajaran konsep Tasawuf yang banyak mengandung dari ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut diringkas menjadi lima bagian yaitu :
  • Secara lahir dan batin melakukan Taqwa kepada Allah Swt
  • Berkata dan berbuat sesuai dengan As Sunnah
  • Dalam penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk
  • Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah Swt.
  • Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah Swt.
Selain kelima kosep Tasawuf diatas, Ibnu ‘Atha’illah memiliki ajaran pokok dalam Tasawuf antara lain :
  1. Peniadaan kehendak dibalik kehendak Tuhan
  2. Pengaturan manusia dibanding kehendak Tuhan
  3. Pengaturan manusia dibanding pengaturan Allah SWT.
Mengenai konsep yang pertama dan kedua,. Ibnu ‘Atha’illah memberikan penegasan dalam hikmah sebagai berikut.

 مَا تَرَاكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْأً مَنْ اَرَادَنَ يُحْدِثُ فِى اْلوَقْتِ غَيْرَ اَظْهَرَهُ اللهُ فِيْه

Artinya : “tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju kelain waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”.
Allah Swt adalah Dzat yang maha merajai diseluruh alam semesta ini. Dia mengetahui segela sesuatu yang ada didalam kerajaannya, itu dengan kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri. Maka dari itu apa saja yang terjadi apa saja dialam semesta ini,  misalnya jatuh sakit, orang yang berada ditingkat tajrid, orang berada ditingkat kasab, miskin serta kaya, semua itu berjalan dengan kehendak dan iradat yang telah direncanakan sejak semula oleh Allah Swt dan juga mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam alam wujud ini.  Dalam Hal ini Allah Swt berfirman :

وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ

Artinya : “…Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir” (Q.S: Ar-rod :8)
Oleh sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah ditentukan oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam ini adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodohnya orang, yang tidak memahami akan qudrat dan iradat Allah Swt. Dengan alasan, karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah, berarti dalam garis besarnya ia tidak rela akan ketetapan  dan keputusan Allah yang telah diberikan kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah kepadanya bukanlah termasuk suatu keadaan yang tercela.
Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya setiap manusia harus menerima ketetapan (taqdir) Allah ini harus dengan lapang dada dan rela hati yang dibarengi dengan ikhtiar.
Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan,  Ibnu ‘Atha’illah menegaskan pula dalam hikmah sebagi berikut :


لاَ ِنهَايَةَ ِلمَذَامِكَ اِنْ أَرْجَعَكَ إِليَْكَ وَلاَ تَفْرَغُ مَدَ فَحِكَ إِنْ أَظْهَرَوُجُوْدَهُ عَلَيْكَ

Artinya “ tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya) kejelekanmu jika Allah mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya upayamu sendiri. Dan tidak akan ada habisnya kebaikanmu, jika Allah memperlihatkan kemurahan-Nya kepadamu”
Tidak akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang mengerjakan kejahatan jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab nafsu itu cenderung pada kejelekan. Sebaliknya orang yang merasa bosan atau tidak henti-hentinya untuk mengerjakan amal kebaikan jika Allah memberikan sifat kemurahannya kepadanya.
Penjelasan menganai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas terhadap amal usahanya, tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau buruk. Artinya manusia harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan atau tindakan diri sendiri. Untuk menegakkan adab Sufi dan kehalusan budi kepada Allah Swt. Maka  hanya kehendak dan daya kekuatan Allahlah yang ditegakkan dalam setiap pembicaraan tasawuf.
Pemikiran  Ibnu ‘Atha’illah tentang Tuhan tersebut sangat berimplikasi pada struktur internal kitab al-Hikam tentang ma’rifat. Tema dasar kitab tersebut adalah ma’rifat. Ia adalah ma’rifat iluminatif dimana disana terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan  yang mendasarinya.
Dalil metafisikanya adalah terbaik dalam sufisme: ke Esaan Tuhan sendiri adalah absolut atau hakiki (al-haqq), atau tidak terbatas. Sementara selain Dia adalah relatif atau tidak riil, atau terbatas. Ini adalah doktrin tauhid  (Devine Unity), dasar islam yang dinyatakan sebagai kesimpulan akhir metafisika. Dilihat dari sudut pandang kebenaran (al-haqq), dunia adalah tidak ada, tidak ada “selain” al-Haqq (the Real). Konsekuensi-konsekuensi` spiritual mendalam yang mengalir dari doktrin tauhid ini adalah prosesi realisasi itu sendiri.
Mengenai tiga prinsip agama Islam, yang disebutkan dalam hadits Nabi yakni Iman Islam dan Ihsan, memainkan ajaran penting dalam ajaran Sufi Ibnu ‘Atha’illah mengambil syahadah islam dan mengimplikasikannya dalam tekhnik dzikir yang penting: “manusia terbagi kedalam tiga kategori kelompok dalam kaitannya dengan penegasan dirinya terhadap keEsaan.
Tuhan dalam Dzikir.
Ketegori kelompok peratama adalah diantara para pemula pada umumnya. Pada kategori ini,  penegasan keesaan dengan lisan, kata, kepercayaan  dan kepatuhan dengan jalan pencerahan-pencerahan dalam kesaksian keesaan, bahwa “tidak adan Tuhan selain Allah  Muhammad adalah utusaan-Nya, ‘ dan itu adalah Islam”.
Kategori kelompok kedua, adalah orang-orang yang tepilih tingkat menegah.  Pada kelompok ini, penegasan keesaannya dengan hati,  secara bebas  dan dengan kehendak sendiri,  dalam keyakinan dan kepatuhan. Dan itu adalah Iman.
Kategori kelompok ketiga adalah orang-orang pilihan dari orang-orang yang terpilih. Pada kelompok ini penegasan keesaan dengan akal (al-aql), mata (‘iyan),  yakin (yakin) dan kontemplasi (Musyahadah).  Dan itu adalah ihsan.
Selain pandangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah membagi dzikir kedalam tiga tingkatan.
Pertama dzikir dengan lidah. Ia merupakan dzikir yang sifatnya umum. Kedua dzikir yang dilakukan dengan hati. Ini adalah dzikir orang-orang terpilih yang mempunyai keyakinan.
Ketiga dzikir dengan jiwa. Ini adalah dzikir orang-orang pilihan dari yang terpilih yang merupakan dzikir orang-orang gnostik (‘arifun) yang menghentikan dzikir mereka sendiri dengan mengingat (kontemplasi) Tuhan.
b.    Metafisika Ibnu ‘Atha’illah
Dalam berbagai hal yang bertkaitan dengan kehidupan, Ibnu ‘Atha’illah lebih memprioritaskan pada qalb meskipun sedikit berbeda dengan al-Ghazali yang lebih mengedepankan Riydhah Fisik.
Nilai-nilai Metafisika Ibu ‘Atha’illah dapat dilihat dari berbagai macam pemikirannya, terutama tentang wujud dibalik alam fisik/ragawi, dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan : “ sesungguhnya alam dapat mencukupi kamu dari segi jasmanimu dan dia tidak mencukupi dari segi ketetapan ruhanimu”
Benda yang ada di alam sama bentuknya dengan badan manusia (sama dalam bentuk kasarnya). Oleh karena itu anggota badan selalu bergantung dengan benda-benda tersebut bahkan mencukupinya. Sebaliknya ruh itu tidak sejenis badan atau benda-benda alam ini, maka kehidupan dan pertumbuhan ruh tidak bergantung pada benda-benda dunia akan tetapi bergantung dan berhubungan kepada terciptanya benda-benda alam tersebut yakni Allah Swt.
Jadi benda-bemnda alam itu tidak dapat memuat atau mencukupi kebutuhan ruhaniayah. Oleh karena itu untuk menyempurnakan kehidupan ruh tersebut sebaiknya setiap orang haus selalau berdzikir dan menyingkirkan segala hawa nafsu yang ada pada diri manusia, sehingga ruh itu bersih dari segala kotoran yang menempel pada kita.
Secara biologis, manusia tersusun dari dua macam unsur yakni tubuh kasar (jasmani) dan ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat menemukan, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, membenci, dan sejenisnya.
Ibnu ‘Athaillah berpendapat tentang tubuh manusia, ia mengemukakan bahwa tubuh mansia tercipta dari tanah. Hal ini sudah merupakan kepastian yang mau tidak mau harus di akuinya. Sedangkan mengenaui ruh,  Ibnu ‘Atha’illah tetap berpegang pada al-qur’an, sebagaimana firman Allah Swt.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً

Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. Q.S. Al-Isra : 85)
Ruh termasuk urusan dan perkataan Allah Swt. Sendiri yang selain-Nya itu pasti tidak akan dapat mengetahui, tidak dahulu, tidak sekarang dan tidak nanti, bahkan tidak untuk selama-lamanya.
Sebenarnya setinggi-tingginya pengetahuan yang dapat diperoleh mengenai hal ruh itu ialah bahwa ruh itu berdiam didalam tubuh manusia  dan bahwa dengan adanya ruh itu lalu tampaklah gerak kehidupan dari tubuh itu dan dapat diketahui pula apa yang diakibatkan oleh adanya kehidupan berfikir, mencintai, menbenci dan sejenisnya, selain itu yang dapat  diketahui mngenai ruh ialah bahwa ruh itu sewaktu-waktu berpisah dengan tubuh yang merupakan media kediamannya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh ruh tersebut lalu menjadi benda mati, beku dan tidak lagi memiliki gerakan.
Dapat disimpulkan bahwa ruh yang dikaruniakan kepada manusia itu merupakan zat yang membedakan antara manusia dan benda-benda yang lain dialam semesta. dengan adanya ruh manusia menjadi pandai dan alim secara sendirinya, sehingga seluruh mala’ikat diperintah oleh Allah untuk tunduk memberi penghormatan kepada manusia tadi. Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa “ruh adalah zat yang memiliki sifat yang tersendiri, dan berada dalam benda-benda lain. Ia adalah jisim Nuraniyah (Nur atau cahaya), dan kedudukannya tinggi dalam kehidupan manusia.
Selain ia dapat meninggalkan tubuh kasar dan dapat menjalar kerongga-rongga, tubuh itu bagaikan mengalirnya air dalam tangkai yang hijau hidup. Ruh itu tidak dipisah-pisahkan, atau dibagi. Kepada tubuh ruh memberikan kesan kehidupan dan apa-apa yang berhubungan dengan adanya kehidupan itu, selama tubuh masih dapat menerima berdiamnya ruh di dalamnya.
Adanya zat yang disebut ruh itu seudah disepakati oleh seluruh agama yang datangnya dari langit (agama samawi) yakni dari Allah Swt. Manusia meyakinkan adanya ruh itu dan dan mempercayainya sejak mereka mengenal agama-agamanya.
Bahkan aliran yag semata-mata berdasarkan materi atau kebendaan, sebelumnya mereka mempercayainya adanya ruh sampai tersebar tiga abad terakhir,  kemudian mereka mengingkari dan tidak mengakui bagi adanya kenyataan ruh tersebut.
Paham materialis mengumumkan bahwa di balik alam materi tidak ada alam lain, kecuali alam yang sama-sama disaksikan secara empiris, juga tidak ada benda lain, kecuali benda-benda yang tampak lagi untuk apa yang dinamakan ruh itu dalam alam semesta yang maujud ini.
Berdasarkan beberapa keterangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan juga selain manusia tersusun dari dua unsur yaitu jasad dan ruh atau materi dan imateri,  ia berpandangan bahwa, akal (aql) dan hati (qalb) sangat berpengaruh dalam kehidupan dan pencapaian ma’rifat. Karena itu Ibnu ‘Atha’illah pempriortiskan keduanya untuk melakukan suluk agar jiwa dapat bersih dari ketergantungan materi, sebagaimana hikmah yang ditulisnya :

اُخْرُجْ مِنْ اَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِصٍ لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِاْلحَقِّ مجُِيْبًاوَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا
 .
Artinya : “keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu (materi) yang buruk dari setiap sifat yang dapat merusak sifat kebudihanmu agar kamu berada untuk menyambut panggilan Zat yang haq (Allah Swt.), dan dari kehadirat-Nya adalah lebih dekat.”
B.    Pengertian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
Dari sisi bahasa ‘arif  memiliki sighat isim fa’il yang berarti orang yang mengenal atau mengetahui, Perkataan ‘arif adalah perkataan umum dalam tasawuf kerenanya ‘arif ditinjau dari segi tasawuf memiliki kriteria diantaranya:
  • a). Cintanya hanya kepada Allah yang agung
  • b). tidak pernah mengendahkan yang banyak atau yang sedikit, yakni disegala hal.
  • c). mematuhi segala perintah Allah,
  • d). terlalu bimbang dari pertukaran keadaan.
Tetapi Ibnu ‘Atha’illah nampaknya disini menegaskan pengertian ‘arif sebagai orang yang bijak dalam melakukan segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu. Seiring pula dengan Abul Abbas Al-Mursi  memprediksi pribadi Ibnu ‘Atha’illah sebagai orang yang bijak dan menjadi tokoh sufi yang bijak pula.
Adapun Ma’rifat secara istilah adalah cara mengenal atau mengetahui eksistensi Tuhan dan orang yang mengetahui eksistensi Tuhan disebut ‘arif. Pengertian tersebut dapat diperluas lagi menjadi cara mengenal atau mengetahui  eksistensi Tuhan melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk Ciptaan-Nya.  Karena itu, pengertian diatas menegaskan dua penjelasan.
Penjelasan yang pertama berupa Nur anugrah dari Allah yang diberikan secara langsung. Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut mawahib atau ‘ain al-ujd. Ibnu ‘Atha’illah menuliskan hikmah sebagai berikut :

مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ
Artinya : “Barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada akhirnya”.
Cahaya dalam pengertian disini, adalah Nur Iman (Cahaya ketauhidan) dengan cahaya ini manusia dapat melihat Allah dengan mata hatinya dan cahaya tersebut merupakan Hakikat cahaya yang sebenarnya.
Adapun tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala sumber, yakni sinar Ilmu, sinar ma’rifat,  dan sinar tauhid. Keterangan ini sesuai dengan hikmah yang ditulisnya :

مَاطَاِلعُ ْاَلاْنوَارِ اْلقُلُوْبُ َواْلاَسْرَارُ

Artinya : “ tempat terbitnya berbagai cahaya Illahi itu ada dalam hati manusia dan rahasia-sahasianya”
Pada kesempatan lain, Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan ada tiga cahaya yang merupakan bekal bagi manusia untuk dapat mengetahui kedekatan dengan Tuhan dan mensifati wujud Tuhan. Tiga macam cahaya tersebut adalah ,pertama Syu’aa’ul Bashiirah yakni dengan akalnya manusia dapat mengetahui akan hakikat dirinya dan mengarti bahwa Allah itu dekat dengannya. Kedua, ‘Ainul Bashiirah yakni dengan Ilmunya, manusia bisa mengetahui bahwa dirinya itu sama sekali tidak ada di dalam wujud Allah. Ketiga, Haqqul Bashirah, yakni dengan kesaksiannya, manusia bisa mengetahui bahwa dirinya yang semula tidak ada menjadi ada, kemudian menjadi tidak ada lagi, sama sekali tidak disamakan dengan ada-Nya Allah yang tidak berawal dan tidak berakhir.
Dengan ketiga cahaya itulah manusia dapat mengetuhi, menghayati, mensifati tentang Wujud Tuhan.
Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan pula cahaya Illahi yang masuk kedalam hati sebagai Hidayah (petujuk) terdiri dari dua macam hati :
Cahaya yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum meresap kedalam hati). Hal ini menyebabkan  pandangan seseorang tidak bisa sepenuhnya tertuju kepada Allah, karena sebagian hati yang lain masih tertambat pada kesenangan dunia.
Cahaya yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang bisa dengan sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya kepada Allah semata.
Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Ma’rifat berkata :
“Apabila Iman itu ada dibagian luar hati, maka seorang hamba akan mencintai dunia dan akhirat, yakni sebagian mencintai Allah dan sebagian mencintai dirinya.  Dan apabila iman telah masuk kedalam lubuk hati maka dia akan membenci dunianya dan ditolak kehendak hawa nafsunya”
Di satu sisi Ibnu ‘Atha’illah memaknai cahaya yang ditulis diatas sebagai “hidayah” dalam melakukan suluk (Ibadah). Sebagaimana yang dilontarkan oleh Ust Labib Mz. Dalam Kitab Al-Hikam sebagai berikut :
“Apa bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak beribadah kepadanya, maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa berma’rifat kepada Allah, yang dengan Ma’ifatullah ini ia akan mancapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”
Penjelaskan kedua, bahwa Ma’rifat dapat diraih dengan cara (tarekat) kesungguhan dalam melakukan suluk (kesungguhan dalam beribadah), dan kesungguhan ini merupakan tonggak titik awal untuk mendapatkan puncak akhir dari  Ikhsan (kebajikan spiritual), yang memainkan peran penting dalam ajaran Sufi.
Pada kelompok Ikhsan ini, penegasan keesaannya adalah dengan akal (al-aql), mata (‘iyan), yakin (yaqin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut sebagai makasib atau atau badzi al-majhud.
Dalam hal suluk Ibnu Athaillah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa Ma’rifat bisa dicapai dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk) kepada Allah. dalam hikmah yang ditulis sebagai berikut :

اَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ اْلبِدَايَاتِ مَجَلاَّتُ النِّهَايَاتِ وَاِنَّ مَنْ كَانَتْ بِااللهِ ِبدَايَتُهُ كَانَتْ اِلَيْهِ ِنهَايَتُهُ

Artinya : “ Amma Ba’du : sesungguhnya permulaan (suatu perkara) itu cermin yang memperlihatkan pada puncak kesudahannya. Dan sesungguhnya orang sejak permulaannya itu selalu bersandar kepada Allah, maka puncak kesudahannya akan samapai kepada-Nya,”
Permulaan yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan permulaan yang jelek akan membuahkan hasil yang jelak pula.  Demikian pula apabila seseorang itu mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Allah kemudian ia memulainya dengan cara yang baik dan usaha yang sungguh sungguh (suluk), niscaya pada akhirnya apa yang diinginkannya itu akan tercapai dengan baik pula.
Sebaliknya jika keinginan untuk bertemu dengan Allah tidak dimulai dengan cara yang baik dan tidak pula disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh (suluk), maka sudah barang tentu keinginannya itu hanya tinggal keinginan belaka tanpa ada hasil yang memuaskan.
Dalam hal penegasan dengan akal (al-aql). Ibnu ‘Atha’illah menuliskan dalam Kitab Al-Hikam bahwa ‘arif  dapat menyaksikan eksistensi Tuhan semata, sebagaimana Hikmah dibawah ini :
Artinya : “ bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu padahal Allah yang mendahirkan (menampakkan) segala sesuatu”.
Artinya : “bagaimana akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu”.
Dalam hal mata hati (iyan) menjelaskan bahwa satu mata dapat melihat Tajalli (penzahiran) sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus berlanjut sepanjang evolusi keruhanian berlangsung (yaitu pengalaman-pengelaman dalam tingkat-tingkat keruhania menuju Allah).
Mata yang lainnya dapat melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur tauhid dan keEsaan. Seorang salik yang telah masuk ke peringkat “disisi Allah” saja yang dapat melihat ke Esaan yang mutlak (yaitu Allah) yaitu mereka yang berada dalam peringkat tinggi yaitu Tajalli Dzat. Dalam hal ini Ibnu athaillah menyebutkan :

فَاِنَّهَا لاَتَعْمَىْ اْلاَبصَْارُ وَلكِنْ تَعْمَىْ اْلقُلُوْبُ التَّىِ فِى الصُّدُوْرِ

Artinya : “ Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang buta) yang ada dalam rongga dada”.
Sedangkan dalam hal Musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman Al-Makky r.a. arti yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi qalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan kilatan dalam kilatan yang bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya siang.
Begitupun qalbu, apabila keadaan tajalli tampat terus menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam sama sekali.  Sejalan dengan Ibnu ‘Atha’illah yang menyebutkan :
Artinya : “Bagaimana mungkin dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) yang tampak dhahir pada segala sesuatu”
Berangkat dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahawa ma’rifat pandangan Ibnu Athai’llah adalah salah satu tujuan dari tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan.
Pertama, adalah mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya tanpa usaha  dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.
Kedua, adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
C.    Macam macam Ma’rifat Pandangan Ibnu Atha’illah
Karya Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah  (komentar) dari beberap komentator  atau pensyarah. Hikam adalah jamak dari hikmah  yaitu kitab khusus yang menerangkan tiga bagian pokok; aforisme, risalah dan munajat (do’a). aforisme atau aksioma-aksioma spiritual merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi dari seluruh bagian lainnya, dimana muatan  dua bagian lainnya terbahas/tersaji dalam bagain aforisme.
Aforisme mengenai Ma’rifat adalah tema dasar kitab tersebut. Ia adalah ma’rifat iluminatif, dimana di sana terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan yang menadsarinya.
Aforisme Tentang Tingkatan Ma’rifat
Aforisme-aforisme yang mendasar mengenai Ma’rifat, dapat dilihat dari tinggkatan-tingkatan sufisme yang ditulis Ibnu Atha’ilah yakni dibagi mejadi tiga tingakatan yaitu : Sinar mata hati (syu’aa’u lbashirah) atau dapat disebut  cahaya akal,  mata hati (Ainul bashirah) atau dapat disebut Cahaya Ilmu dan Hakikat Mata hati (Haqqul bashirah) atau dapat disebut cahaya Illahi
“Sinar Mata hati itu dapat memeperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu. Dan Mata hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujud (adanya) Allah, dan Hakikat Mata hati itulah yang menunjukan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ‘adam (ketiadaanmu) dan bukan pula wujudmu.”
“Fikiran itu dua macam : fikiran yang timbul dari iman percaya, dan fikiran yang timbul karena melihat kenyataan, maka bagi yang pertama bagi orang salik yang mengambil dalil : Adanya makhluk menunjukan adamnya Khalik, ialah mereka ahli I’tibar. Sedangkan yang kedua mereka yang terbuka hijab hingga dapat melihat kenyataan dengan mata hatinya.”
Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang menunjukan adanya benda yang dijadikan.
Mengenai yang pertama dapat disebut dengan ma’rifat orang salih dan mengenai yang kedua dapat disebut ma’rifat orang mahjdzub Orang yang memfikirkan adanya alam, ada yang langsung melihat pada yang menjadikan, sehingga ia berkata : Karena adanya pencipta, maka terjadilah yang dicipta, dan sebaliknya ada yang terpengaruh oleh bendanya, sehingga berkata adanya ciptaan ini menunjukan adanya pencipta.
“hakikat ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal (Singkat), tetapi setelah tertangkap terjadinya penerangan (keterangan)nya ayat : maka apabila kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian kami sedndiri yang akan menerangkannya (penjelasan perincian).
Ilmu adalah sesuatu yang didapat dengan belajar, dan hakikat dari sebuah ilmu adalah ilham dari Allah kedalam hati tanpa perantara. Hakikat ilmu itu dapat juga disebut ilmu ladunni.
D.    Metode Pencapaian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
“Seorang salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara hakikatnya (hawatif al haqiah) segera memeperingatkan kepadanya, “bukan itu tujuan yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!” demikian pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan diperingatkan oleh hakikatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian batu ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.”
Aforisme Tentang Pencapaian Ma’rifat

اَلعَْاِرفُ لاَ يَزُوْلُ اْضطِرَارُهُ وَلاَ يَكُوْنُ مَعَ غَيْرِاللهِ قَرَارُهُ

“Seorang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa tenang, atau bersandar pada sesuatu selain Allah.”
Pernah terlintas tidak dalam pikiran Anda ,siapa sih yang pertama kali melakukan shalat lima waktu? Mungkin bagi orang awam, termasuk saya sebelum membaca salah satu buku karangan Dr. Ibrahim Rabi’ Muhamad tentang “Yang Pertama Berjasa Dalam sejarah dan peradaban Islam” pasti akan menjawab Nabi Muhammad SAW. Menurut logika jelas sekali kebenarannya, karena Beliaulah yang pertama kali diperintahkan oleh Alloh SWT untuk melakukan shalat lima waktu. Namun, fakta mengatakan lain. Perintah shalat sebenarnya sudah ada dari sejak zaman Nabi Adam as bahkan sampai zaman Nabi Musa pun perintah shalat itu sudah dilakukan.
Dari beberapa sumber hadits mengatakan bahwa umat Nabi Musa diperintahkan oleh Alloh SWT untuk melakukan shalat sebanyak 70 kali dalam sehari. Pantas saja ketika Nabi Muhammad melakukan isra dan mi’raj, Nabi Musa menyuruh Beliau agar meminta keringanan perintah shalat karena Nabi Musa as dahulu pernah merasakan beratnya perintah itu karena umatnya yang pembangkang (Bani Israel yang merupakan nenek moyang orang Yahudi). Singkat cerita, pada akhirnya perintah shalat itu pun berkurang menjadi lima kali dalam sehari setelah Nabi Muhammad berupaya meminta keringanan shalat kepada Alloh untuk umatnya.
Berikut adalah manusia pertama kali yang mengerjakan shalat lima waktu, yakni:
Nabi adam as adalah manusia pertama yang melaksanakan Shalat Shubuh
Beliau adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Alloh SWT dan merupakan nenek moyang kita semua. Nabi Adam as selalu beribadah kepada Alloh SWT ketika terbit fajar, ia melakukan shalat dua rakaat sebagai tanda syukurnya kepada Alloh atas hilangnya kegelapan malam, atas hilangnya kemaksiatan, atas datangnya cahaya siang, dan sebagai wujud permintaan taubatnya.
Nabi Ibrahim as adalah manusia pertama yang mengerjakan Shalat Dzuhur
Dengan penuh keimanan, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Alloh SWT untuk menyembelih anak kesayangan yaitu nabi Ismail as. Pada saat itulah kebesaran Alloh muncul dengan mengganti Nabi Ismail dengan seekor kambing sebagai tebusan Agung. Nabi Ibrahim hampir tidak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya.Beliau lalu mengerjakan shalat empat rakaat sebagai tanda syukur kepada Alloh atas keselamatan anaknya yang bernama Ismail as.
Nabi Ibrahim as adalah manusia pertama yang melaksanakan Shalat Ashar
Ada yang ingat nggak cerita Nabi Ibrahim as? Ketika itu beliau sedang mencari tahu siapakah Tuhan dia yang patut disembahnya, setelah beberapa lama mengamati alam semesta dan seisinya. Pada akhirnya beliau di berikan bukti nyata keberadaan Tuhan dengan diperlihatkannya kebesaran Alloh melalui Burung yang pada mulanya Tuhan memerintahkan beliau untuk menyembelihnya dan memotong burung tersebut menjadi empat bagian, pada setiap bagian Alloh menyuruh Nabi Ibrahim untuk meletakan setiap bagian potongan burung tersebut di empat gunung yang berbeda. Singkat cerita, Alloh dengan kebesarannya bisa menyatukan kembali bagian potongan burung yang terpisah jauh dan akhirnya burung tersebut hidup kembali. Kemudian Nabi Ibrahim as bertaubat pada waktu tergelincirnya matahari. Beliau mengerjakan shalat sebanyak empat rakaat sebagai tanda syukur atas pemberian ilmu pengetahuan dan hikmah baginya.
Nabi Isa as adalah manusia pertama yang mengerjakan Shalat Maghrib
Peristiwa tersebut terjadi ketika Alloh mengangkat dan menyelamatkannya dari kejahatan bangsa Yahudi setelah tenggelamnya matahari. Lalu beliau melakukan shalat sebanyak tiga rakaat sebagai tanda syukur atas keselamatan yang dianugrahkan baginya dari segala tipu daya musuh. Juga sebagai tanda syukur atas dinaikanya ke langit sehingga terlepas dari berbagai urusan keduniaan.
Nabi Yunus adalah manusia pertama yang mengerjakan Shalat Isya
Peristiwa itu terjadi ketika Alloh menyelamatkan beliau dari perut ikan Hiu. Yaitu ketika hilangnya warna merah dari ufuk barat dan bintang-bintang pun telah bergemerlapan di atas langit. Kemudian beliau mengerjakan Shalat Isya sebagai tanda syukur atas keselamatannya dari empat kegelapan, yaitu; pertama, kegelapan malam; kedua, kegelapan awan; ketiga, kegelapan lautan; dan keempat adalah kegelapan di dalam perut Ikan Hiu

Konsep pendidikan pada masa kependudukan jepang

Dinsdag 05 Maart 2013
Posted by Unknown
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi.

"Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup.
Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir. Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya.

Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala. Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.” Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa.
Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya. Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya, yang digambarkan bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya. Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais.

Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susan atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”. Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi. Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani sebagai berikut: Umar : Apa yang anda kerjakan disini ? Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala Umar : Siapa nama Anda? Uwais : Aku adalah hamba Allah Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi Uwais : Silahkan saja. Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak. Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus.

Setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua. Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda. Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba Allah Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah. Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang untuk anda pakai. Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya. Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan kesendirian (pengasingan diri).

Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu? Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya. Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan. Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya. “Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku telah mengenal rohmmu”, demikian jawan Uwais. Uwais : kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan mentaati kata hatinya. Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H). Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hri namanya banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya : Kawan tercinta kekasih Allah; Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani. Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja, Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah; Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta Di tanah Yaman, Uwais alQarani Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi.

Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat. Doa dan Dzikir Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya. Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”. Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman. Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang pensasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita. Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali lipat.” Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan. Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt. Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan mnyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt.

Namun yang dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan meningat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa yang paling utama pada setiap orang yang bramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan. Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan sipemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi. Yanag apada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw. Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu.
Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga termaterialisasi dan menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi. Wallahu a’lam bis-shawab.
Sebelum menyentuh makna bacaan shalat yang luar biasa, termasuk juga aspek “olah rohani” yang dapat melahirkan ketenangan jiwa, atau “jalinan komunikasi” antara hamba dengan Tuhannya, secara fisik shalat pun mengandung banyak keajaiban.
Setiap gerakan shalat yang dicontohkan Rasulullah SAW sarat akan hikmah dan bermanfaat bagi kesehatan. Syaratnya, semua gerak tersebut dilakukan dengan benar, tumaninah serta istiqamah (konsisten dilakukan).
Dalam buku Mukjizat Gerakan Shalat, diungkapkan bahwa gerakan shalat dapat melenturkan urat syaraf dan mengaktifkan sistem keringat dan sistem pemanas tubuh. Selain itu juga membuka pintu oksigen ke otak, mengeluarkan muatan listrik negatif dari tubuh, membiasakan pembuluh darah halus di otak mendapatkan tekanan tinggi, serta membuka pembuluh darah di bagian dalam tubuh (arteri jantung).
Kita dapat menganalisis kebenaran sabda Rasulullah SAW dalam kisah di awal.
“Jika engkau berdiri untuk melaksanakan shalat, maka bertakbirlah.”
Saat takbir Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ke atas hingga sejajar dengan bahu-bahunya (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar). Takbir ini dilakukan ketika hendak rukuk, dan ketika bangkit dari rukuk.
Beliau pun mengangkat kedua tangannya ketika sujud. Apa maknanya? Pada saat kita mengangkat tangan sejajar bahu, maka otomatis kita membuka dada, memberikan aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat di lengan untuk dialirkan ke bagian otak pengatur keseimbangan tubuh, membuka mata dan telinga kita, sehingga keseimbangan tubuh terjaga.
“Rukuklah dengan tenang (tumaninah).” Ketika rukuk, Rasulullah SAW meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut (HR Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash). Apa maknanya? Rukuk yang dilakukan dengan tenang dan maksimal, dapat merawat kelenturan tulang belakang yang berisi sumsum tulang belakang (sebagai syaraf sentral manusia) beserta aliran darahnya. Rukuk pun dapat memelihara kelenturan tuas sistem keringat yang terdapat di pungggung, pinggang, paha dan betis belakang. Demikian pula tulang leher, tengkuk dan saluran syaraf memori dapat terjaga kelenturannya dengan rukuk. Kelenturan syaraf memori dapat dijaga dengan mengangkat kepala secara maksimal dengan mata mengharap ke tempat sujud.
“Lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegak.” Apa maknanya? Saat berdiri dari dengan mengangkat tangan, darah dari kepala akan turun ke bawah, sehingga bagian pangkal otak yang mengatur keseimbangan berkurang tekanan darahnya. Hal ini dapat menjaga syaraf keseimbangan tubuh dan berguna mencegah pingsan secara tiba-tiba.
“Selepas itu, sujudlah dengan tenang.” Apa maknanya? Bila dilakukan dengan benar dan lama, sujud dapat memaksimalkan aliran darah dan oksigen ke otak atau kepala, termasuk pula ke mata, telinga, leher, dan pundak, serta hati. Cara seperti ini efektif untuk membongkar sumbatan pembuluh darah di jantung, sehingga resiko terkena jantung koroner dapat diminimalisasi.
“Kemudian bangunlah hingga engkau duduk dengan tenang.” Apa maknanya? Cara duduk di antara dua sujud dapat menyeimbangkan sistem elektrik serta syaraf keseimbangan tubuh kita. Selain dapat menjaga kelenturan syaraf di bagian paha dalam, cekungan lutut, cekungan betis, sampai jari-jari kaki. Subhanallah!
Masih ada gerakan-gerakan shalat lainnya yang pasti memiliki segudang keutamaan, termasuk keutamaan wudhu. Semua ini memperlihatkan bahwa shalat adalah anugerah terindah dari Allah SWT bagi hambanya yang beriman.

Qana,ah

Posted by Unknown
Qanaah ialah menerima dengan cukup tidak kurang dan selalu disyukuri seberapapun nikmat yang diberikan allah SWT kepadanya.

Qanaah itu mengandung lima perkara:

  1. Menerima dengan rela akan apa yang ada.
  2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
  3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
  4. Bertawakal kepada Tuhan.
  5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Itulah yang dinamai Qanaah, dan itulah kekayaan yang sebenarnya.

Rasulullah saw bersabda:

"Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta,, kekayaan ialah kekayaan jiwa".

Ertinya: Diri yang kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu haloba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus terusan. Kerana kalau masih meminta tambah, tandanya masih miskin.

Rasulullah saw bersabda juga:

Artinya:

"Qanaah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan lenyap". (HR. Thabarai dari Jabir).

Orang yang mempunyai sifat qanaah telah memagar hartanya sekadar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar fikirannya kepada yang lain.

Barangsiapa yang telah beroleh rezeki, dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi. Tuan tidak dilarang bekerja mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran harta telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan. Bekerjalah, kerana manusia dikirim ke dunia buat bekerja, tetapi tenangkan hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu ada kalah dan menang. Jadi tuan bekerja lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja lantaran orang hidup tak boleh menganggur.

Hal ini kerap menerbitkan salah sangka dalam kalangan mereka yang tidak faha rahsia agama. Mereka lemparkan kepada agama suatu tuduhan, bahawa agama memundurkan hati bergerak. Agama membawa manusia malas, sebab dia sentiasa mengajak umatnya membenci dunia, terima saja apa yang ada, terima saja takdir, jangan berikhtiar melepaskan diri. Sebab itu, bangsa yang tidak beragama beroleh kekayaan, bangsa yang zuhud terlempar kepada kemiskinan katanya!

Tuduhan demikian terbit lantaran salah perasangka pemeluk agama sendiri. Mereka sangka bahawa yang bernama qanaah ialah menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak berikhtiar lagi. Mereka namai taqwa orang yang hanya karam dalam mihrab. Mereka katakan soleh orang yang menjunjung serban besar, tetapi tidak memperdulikan gerak geri dunia. Mengatur hidup, mengatur kepandaian, ilmu dunia, semuanya mereka sangka tidak boleh dilarang agama! Sebab kesalahan persangkaan pemeluk agama itu, salah pulalah persangkaan orang yang tidak terdidik dengan agama, bukan kepada pemeluk agama yang salah pasang itu, tetapi salah sangka kepada agama sendiri.

Intisari pelajaran agama ialah menyuruh qanaah itu, qanaah hati, bukan qanaah ikhtiar. Sebab itu terdapatlah dalam masa sahabat-sahabat Rasulullah saw, orang kaya-kaya, berwang, berharta berbilion, beruma sewa, berunta banyak, memperniagakan harta benda keluar negara, dan mereka qanaah juga. Faedah qanaah amat besar di waktu harta itu terbang dengan tiba-tiba.

Sri baginda ratu Belanda Wilhelmina seorang ratu yang masyhur mempunyai pendirian qanaah ini. Puteri Yuliana, disuruh mempelajari segala macam kepandaian yang perlu untuk menjaga hidup sehari-hari, disuruh belajar menjahit, memasak, menyulam dan lain-lain. Ketika ditanyai orang kepada baginda apa maksud yang demiian, baginda menjawab kira-kira demikian.

"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempuh apa yang akan terjadi".

"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempu apa yang akan terjadi".

Inilah pendirian yang sepantasnya bagi seorang raja, terutama di zaman demokrasi, kerani nasib tidak dapat ditentukan, berapa banyak raja yang lebih besar dari Ratu Wilhelmina, dan Yuliana terpaksa meninggalkan singgahsananya. Pelajari hidup bersakit, kerana nikmat tidaklah kekal.

Maksud qanaah itu amatlah luasnya. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat, sebab entah terbang pula nikmat itu kelak. Dalam hal yang demikian disuruh bekerja, kewajipan belum berakhir. Kita bekerja bukan lantaran meminta tambahan yang telah ada dan tak merasa cukup pada apa yang dalam tangan, tetapi kita bekerja, sebab orang hidup mesti bekerja.

Itulah maksud qanaah.

Nyatalah salah persangkaan orang yang mengatakan qanaah ini melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi qanaah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang betul-betul (enerti) mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak, mantapkan fikiran, teguhkan hati, bertawakal kepada Tuhan, mengharapkan pertolonganNya, serta tidak merasa kesal jika ada keinginan yang tidak berhasil, atau yang dicari tidak dapat.

Kenapa kita ragu-ragu, padahal semuanya sudah tertulis lebih dahulu pada azal, menurut jalan sebab dan musabab.

Ada orang yang putus asa dan membuat bermacam-macam 'boleh jadi' terhadap Tuhan. Dan berkata:

"Boleh jadi saya telah ditentukan bernasib buruk, apa guna saya berikhtiar lagi. Boleh jadi saya telah ditentukan masuk neraka, apa guna saya bersembahyang".

Ini namanya syu'uahan, jahat sangka dengan Tuhan, bukan husnus zhan, baik sangka. Lebih baik merdekakan fikiran diri dari syu'uzhan itu. Faham demikian tidak berasal dari pelajaran agama, tetapi dari pelajaran falsafah yang timbul setalah ulama-ulama Islam bertengkar-tengkar tentang takdir, tentang azali, tentang qadha dan qadar.

Tak mungkin Allah akan begitu kejam, menentukan saja seorang mesti masuk neraka, padahal dia mengikut perintah Allah?

Kembali kepada qanaah tadi, maka yang sebaik-baiknya ubat buat menghindarkan segala keraguan dalam hidup, ialah berikhtiar an percaya kepada takdir. Hingga apa pun bahaya yang datang kita tidak syak dan ragu Kita tidak lupa ketika untung, dan tidak cemas ketika rugi. Siapa yang tidak berperasaan qanaah, ertiya dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat tidak, fikirannya kacau, lekas marah,penyusah, dan bilamana tidak, fikirannya kacau, lekas marah, penyusah,dan bilamana beruntung lekas pembangga. Dia lari dari yang ditakutiya, tetapi yang ditakuti itu berdiri di muka pintu, sebagaimana orang yang takut mengingat-ingat, barang yang diingat-ingat, kian dicubanya melupakan teringat itu, kian teguh dia berdiri di ruang matanya.

Ini semuanya tidak terjadi pada orang beriman yang redha menerima apa yang tertentu dalam azal. Meskipun susah atau senang, miskin atau kaya, semua hanya pada pandangan orang luar. Sebab dia sendiri adalah nikmat, dan kekayaan dalam perbendaharaan yang tiada ternilai harganya, 'pada lahirnya azab, pada batinnya rahmat'. Jika ditimpa susah, dia senang sebab dapat mengingat kelemahan dirinya dan kekuatan Tuhannya, jika dihujani rahmat, dia senang pula, sebab dapat bersyukur.

Qanaah, adalah tiang kekayaan yang sejati. Gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya. Tidak dapatlah disamakan lurah dengan bukit, tenang dengan gelisah, kesusahan dan kesukaan, kemenangan dan kekalahan, putus asa dan cita-cita. Tak dapat disamakan orang yang sukses dengan orang yang muflis.

Keadaan-keadaan yang terpuji itu terletak pada qanaah, dan semua yang tercela ini terletak pada gelisah.
Konsep pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di mesjid-mesjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:

1.      Khuttab
Khuttab atau Maktab berasaal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.[6]
Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.  Perhatian mereka bukan tertumpu mengajarkan Al Quran semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat.  Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari.  Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[7]
Kalau dilihat di dalam sejarah pendidikan Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:
One.         Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca.[8]
Two.        Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al Quran dan dasar-dasar keagamaan.[9]
Peserta didik dalam Khutab adalah anak-anak, tidak dibatasi baik miskin ataupun kaya.  Para guru tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian anak miskin yang belajar di Khuttab memperoleh pakaian dan makanan secara cuma-cuma.  Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.[10]  Namun tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang mampu mendidik anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru yang khusus pula seperti: Hajjad ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi putra Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn Marwan. [11]

2.      Mesjid
Setelah pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di mesjid.  Peranan Mesjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada Dinsti Umayyah, Mesjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.[12]
Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Mesjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan Mesjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Mesjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerinath Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan Mesjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[13]
Pada Dinasti Umayyah ini, mesjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya. Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Khuttab atau di Mesjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.

3.      Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.  Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia  tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.[14]
Hal diatas sesuai dengan wasiat Abdul Malik ibn Harman kepada pendidik puteranya dengan pesan “Ajarkan kepada mereka berkata benar disamping mengajarkan Al Quran. Jauhkanlah mereka dari orang-orang jahat yang tidak mengindahkan perintah Allah dan tidak berlaku sopan, dan jauhkan juga mereka chadam dan pekerjaannya karena bergaul dengan mereka akan dapat merusak moralnya.  Gunakanlah perasaan mereka agar badannya kuat, dan serahkanlah mereka bersufi dan air dengan menghisabnya pelan-pelan dan jangan minum tidak senonoh bila memerlukan teguran hendaklah secara tertutup, jangan sampai diketahui oleh pelayan dan tamu agar mereka tidak dipandang rendah.[15]
Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik.  Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.[16]
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana Yunani da Qibti ke dalam Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq.[17]
Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah.[18]
Ilmu tafsir memiliki makna yang  strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam.  Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.  Pencemaran Al Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat.  Tokohnya adalah Abd Malik ibn Juraid al Maki.  Selain ilmu tafsir ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius.  Pentingnya periwayatan hadist sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah maupun secara moral.  Namun keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadist, sebelum mencapai tahap kodifikasi.  Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist-hadist, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.  Sungguhpun demikian pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.  Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah.
Dibidang fiqh secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya.  Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan  perkembangan yang sangat berarti.  Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid fiqh.  Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah.[19]
Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah:
Artinya :    “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini
Periode Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Mesjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam.  Dengan penekanan ini di Mesjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya.  Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Mesjid yang paling cemerlang.
Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin.  Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya.  Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam.  Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.  Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golonga.
Walaupun demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan.  Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.  Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.[20]


pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di mesjid-mesjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:

1.      Khuttab
Khuttab atau Maktab berasaal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.[6]
Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.  Perhatian mereka bukan tertumpu mengajarkan Al Quran semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat.  Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari.  Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[7]
Kalau dilihat di dalam sejarah pendidikan Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:
One.         Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca.[8]
Two.        Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al Quran dan dasar-dasar keagamaan.[9]
Peserta didik dalam Khutab adalah anak-anak, tidak dibatasi baik miskin ataupun kaya.  Para guru tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian anak miskin yang belajar di Khuttab memperoleh pakaian dan makanan secara cuma-cuma.  Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.[10]  Namun tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang mampu mendidik anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru yang khusus pula seperti: Hajjad ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi putra Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn Marwan. [11]

2.      Mesjid
Setelah pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di mesjid.  Peranan Mesjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada Dinsti Umayyah, Mesjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.[12]
Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Mesjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan Mesjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Mesjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerinath Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan Mesjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[13]
Pada Dinasti Umayyah ini, mesjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya. Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Khuttab atau di Mesjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.

3.      Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.  Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia  tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.[14]
Hal diatas sesuai dengan wasiat Abdul Malik ibn Harman kepada pendidik puteranya dengan pesan “Ajarkan kepada mereka berkata benar disamping mengajarkan Al Quran. Jauhkanlah mereka dari orang-orang jahat yang tidak mengindahkan perintah Allah dan tidak berlaku sopan, dan jauhkan juga mereka chadam dan pekerjaannya karena bergaul dengan mereka akan dapat merusak moralnya.  Gunakanlah perasaan mereka agar badannya kuat, dan serahkanlah mereka bersufi dan air dengan menghisabnya pelan-pelan dan jangan minum tidak senonoh bila memerlukan teguran hendaklah secara tertutup, jangan sampai diketahui oleh pelayan dan tamu agar mereka tidak dipandang rendah.[15]
Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik.  Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.[16]
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana Yunani da Qibti ke dalam Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq.[17]
Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah.[18]
Ilmu tafsir memiliki makna yang  strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam.  Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.  Pencemaran Al Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat.  Tokohnya adalah Abd Malik ibn Juraid al Maki.  Selain ilmu tafsir ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius.  Pentingnya periwayatan hadist sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah maupun secara moral.  Namun keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadist, sebelum mencapai tahap kodifikasi.  Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist-hadist, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.  Sungguhpun demikian pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.  Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah.
Dibidang fiqh secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya.  Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan  perkembangan yang sangat berarti.  Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid fiqh.  Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah.[19]
Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah:
Artinya :    “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini
Periode Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Mesjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam.  Dengan penekanan ini di Mesjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya.  Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Mesjid yang paling cemerlang.
Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin.  Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya.  Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam.  Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.  Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golonga.
Walaupun demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan.  Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.  Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.[20]