Unknown
On Dinsdag 05 Maart 2013
Konsep Pendidikan Islam Pada Masa Abbasiyah
a) Tujuan pendidikan
Pada masa nabi Muhammad SAW, masa khalifah rasyidin dan Muawiyah,
tujuan pendidikan hanya satu, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan
belajar karena Allah serta mengharapkan keridhaannya.
Sedangkan pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah
bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Adapun tujuan
itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Tujuan keagamaan dan akhlak
2) Tujuan kemasyarakatan
3) Cinta akan ilmu pengetahuan
4) Tujuan kebendaan
Keterangan ini, sebagaimana seorang ulama An namiry al Quthubi yang
hidup di tahun 463 H menyatakan bahwa tuntutlah ilmu, karena ilmu itu
menjadi penolong dalam agama, menajamkan otak, teman ketika sendirian,
berfaedah dalam majlis-majlis dan menarik harta benda.
b) Materi pendidikan
Sebelum membahas materi pendidikan, perlu diketahui bahwa tingkat
pengajaran kepada peserta didik tergantung tingkatanya, yaitu:
1) Tinkat sekolah rendah (kuttab), tempat belajarnya di kuttab, rumah, istana, toko-toko dan di pinggir-pinggir pasar.
2) Tingkat sekolah menengah, tempat belajarnya di masjid, majelis sastra dan ilmu pengetahuan.
Untuk peserta didik tingkat rendah disediakan materi ijbari dan materi ikhtiari. Adapun materi ijbari
adalah: al Qur’an, shalat, doa, sedikit ilmu nahwu dan bahasa Arab,
membaca dan menulis. Sedangkan materi yang Ikhtiari adalah: berhitung,
semua ilmu nahwu dan bahasa Arab, syair-syair dan tarikh Arab.
Sedangkan untuk anak-anak amir dan penguasa, materi tingkat rendah
sedikit berbeda. Di istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya
pengajaran khitabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan,
disamping ilmu-ilmu pokok seperti Qur’an, syair dan fiqh.
Pada masa ini, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi
seseorang yang belajar di kuttab. Para murid yang memasuki lembaga
pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang mulai memasuki kuttab
berumur lima tahun ada pula yang tujuh tahun bahkan ada yang sepuluh
tahun. Nampaknya hal ini karena kesiapan peserta didik, baik fisik,
mental ataupun dari segi ekonomi.
Setelah usai menempuh pendidikan tingkat rendah, murid bebas memilih
bidang studi yang ingin ia dalami di tingkat selanjutnya, umumnya
rencana pengajaran itu adalah: al Quran, bahasa Arab dan
kesusasteraannya, Fiqh, Tafsir, Hadist, Nahwu/saraf/Balaghah, ilmu-ilmu
pasti, Mantiq, Falak, Tarikh, ilmu-ilmu alam, kedokteran dan musik.
Disamping itu semua, ada mata pelajaran yang bersifat kejuruan,
misalnya untuk menjadi juru tulis di kantor-kanntor. Selain dari belajar
bahasa, murid disini harus belajar surat menyurat, pidato, diskusi,
berdebat, serta tulisan indah
Selanjutnya pada tingkat tinggi untuk materi pelajarannya tidak sama
diseluruh negara Islam. Umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua
jurusan, yaitu:
1) Jurusan
ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusteraanya (ilmu naqliyah).
Materinya adalah tafsir al Quran, hadist, fiqh dan usul fiqh,
nahwu/saraf, balagah, bahasa Arab dan kesusteraanya.
Saat
itu belum ada spesialisasi dalam satu materi pelajaran seperti sekarang
ini, spesialisasi itu lahir kemudian sesudah para peserta didik selesai
dari perguruan tinggi.
2) Jurusan
ilmu-ilmu hikmah (ilmu-ilmu aqliah). Materinya adalah: mantik,
ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, falak,
ilahiyah, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, kedokteran.
c) Pendidik
Dilihat dari segi sosial ataupun penghasilan, pendidik dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Para muallim kuttab
Guru model ini memiliki status sosial yang rendah karena kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot.
2) Para muaddib
Guru
ini mempunyai status social yang tinggi, karena syarat untuk menjadi
muaddib sangat sulit, diantaranya: alim, berakhlak mulia dan dikenal
masyarakat.
3) Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan disekolah-sekolah.
Guru ini beruntung karena mendapat penghormatan dari masyarakat karena penguasaan ilmu pengetahuan yang mendalam
d) Peserta didik
Peserta
didik pada masa keemasan Islam mendapatkan pelayanan dan perhatian yang
sungguh-sungguh dari ulama, hartawan dan pemerintah. Pemerintah member
keluasan dalam belajar. Mereka tidak diperkenankan untuk membedakan
tingkat social dalam proses pendidikan. Mereka harus berkumpul dalam
tempat yang sama dan memperoleh pendidikan yang sama pula.
Murid
yang telah menamatkan tingkat dasar ini bisa langsung masuk ke sekolah
tinggi tanpa masuk ke sekolah menengah. Bahkan kadang-kadang ada yang
masuk sekolah tinggi sebelum menamatkan sekolah dasar. Dan murid bebas
memilih guru yang mereka anggap paling baik, mereka bebas pindah dari
satu guru ke guru lain.
Karena bebas memilih guru dan berganti-ganti, peserta didik di zaman tersebut biasanya membuat mu’jam al-Masyakha
yang mengajar. Dafar ini sebagai bukti bahwa mereka telah belajar
kepada guru-guru yang terkenal, karena murid zaman dulu tidak puas
berguru pada satu guru selain itu juga untuk mengetahui kualitas hadist
yang mereka terima.
e) Metode pengajaran
Pada masa dinasti Abbasiyah metode pendidikan yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:
1) Metode lisan (dikte, ceramah, qiraah dan diskusi)
Metode
dikte adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman
karena dengan dikte ini murid mempunyai catatan yang akan dapat
membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada
masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.
Metode ceramah adalah guru menjelaskan dan murid mendengarkan.
Metode qiraah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
2) Metode menghafal (ciri umum pendidikan pada masa ini)
Murid-murd harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka.
3) Metode tulisan (pengkopian karya ulama)
Metode
tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku
terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid
semakin meningkat.
f) Rihlah ilmiyah
Yaitu
suatu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu. Dengan
adanya rihlah ilmia pendidikan Islam pada masa itu tidak hanya dibatasi
dengan dinding kelas (school without wall). Sistem ini mempunyai pengaruh yaitu pertukaran pemikiran sehingga dinamika sosial dan peradaban Islam terus berkembang.
g) Sumber pembiayaan
Pada masa bani Abbasiyah, sumber pembiayaan pendidikan antara lain:
1) Subsidi pemerintah
Para
penguasa dan pimpinan muslim memiliki perhatian yang besar terhadap
ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur rasyidin. Mereka mendirikan dan
menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan,
termasuk lembaga-lembaganya.
Masjid jami’ yang banyak bermuncluan di masa disnati Abbasiyah dibiayi keberadaan dan operasionalnya oleh pemerintah sepenuhnya.
Selain
itu, madrasah-madrasah yang brdiri pada masa Turki Saljuk dilembagakan
di bawah pengawasan dan bantuan negara. Diantaranya, memberikan
beasiswa murid pensiun dan ransum kepada murid yang patut menerimanya.
2) Wakaf
Lembaga
wakaf menjadi sumber pembiayaan kegiatan pendidikan saat itu. Sistem
wakaf dalam Islam disebabkan oleh system ekonomi Islam, yang menganggap
bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syariat Islam, serta
adanya keseimbangan antara ekonomi dan kemaslahatan masyarakat.
Dengan
dipelopori oleh penguasa Islam yang cinta ilmu, seperti Harun ar Rasyid
dan al Ma’mun, berdirilah lembaga-lembaga pendidikan keilmuan, seperti
kegiatan penerjemahan, yang di zaman al Ma’mun kegiatannya lebih
sempurna sehingga berdirilah Baitul Hikmah. Pada perkembangan
selanjutnya, kebutuhan untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan maka
lahirlah ide tentang perlunya lembaga wakaf yang akan menjadi sumber
keuangan.
Menurut
Syalabi, bahwa khalifah al Ma’mun adalah orang yang pertama kali
mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan wakaf. Ia berpendapat
bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak tergantung pada subsidi
Negara dan kedermawanan penguasa-penguasa, tetapi juga membutuhkan
kesadaran masyarakat untuk bersama-sama Negara menanggung biaya
pelaksanaan pendidikan.
3) Orang tua
Biaya
pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat
fleksibel tergantung pada kondisi financial orang tua murid. Biaya ini
juga merefleksikan kemajuan murid. Sebab, di samping biaya pendaftran
biaya tambahan akan diambil ketika murid telah menyelesaikan suatu paket
tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial,
seperti bahan pangan dan sandang sesuai keadaan keluarga murid.
Biaya
pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi
pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa
dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi
harus dilakukan dengan ikhlas.
4) Murid
Seorang
ilmuwan yang mengajar di masjid, madrasah atau lembaga pendidikan
lainnya diperbolehkan memungut biaya dari muridnya, biasanya jumlah
disepakati antara murid dan guru.
para
penuntut ilmu yang barasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas
inisiatif sendiri sering bekerja di tengah-tengah masyarakat untuk
membiayai pendidikannya. Ada juga pelajar yng tidak tetap yang terdiri dari para pekerja.
5) Sumber lain
Pandangan
bahwa ilmu agama, terutama al Quran harus diajarkan kepada orang lain
sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan
menerima bantuan financial dari siapapun. Mereka berusaha untuk
membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat
sendiri di luar pekerjaan mengajar.
Terima kasih atas kunjungan anda, semoga postingan saya bermanfaat. Tolong berikan pendapat anda tentang postingan saya.