Unknown
On Dinsdag 05 Maart 2013
Konsep pendidikan
Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan
pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan
ilmiah di mesjid-mesjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.
Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
1. Khuttab
Khuttab atau Maktab berasaal dari kata dasar kataba
yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat
belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan
membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.[6]
Adapun
cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka
juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan. Perhatian mereka
bukan tertumpu mengajarkan Al Quran semata dengan mengabaikan pelajaran
yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat. Al
Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian
dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari. Disamping belajar
menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab,
cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[7]
Kalau dilihat di dalam sejarah pendidikan Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:
One. Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca.[8]
Two. Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al Quran dan dasar-dasar keagamaan.[9]
Peserta
didik dalam Khutab adalah anak-anak, tidak dibatasi baik miskin ataupun
kaya. Para guru tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada
sebagian anak miskin yang belajar di Khuttab memperoleh pakaian dan
makanan secara cuma-cuma. Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang
sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.[10]
Namun tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang mampu mendidik
anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru
yang khusus pula seperti: Hajjad ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi
putra Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn
Marwan. [11]
2. Mesjid
Setelah
pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke
tingkat menengah yang dilakukan di mesjid. Peranan Mesjid sebagai pusat
pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang
yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan
ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada
Dinsti Umayyah, Mesjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan
tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al
Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak,
gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.[12]
Diantara
jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan adalah menjadikan Mesjid sebagai pusat aktifitas ilmiah
termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada
periode ini juga didirikan Mesjid ke seluruh pelosok daerah Islam.
Mesjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi
tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada
pemerinath Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas
terbesar dan juga didirikan Mesjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap
Universitas tertua sampai sekarang.[13]
Pada
Dinasti Umayyah ini, mesjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua
tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat
menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya
adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya.
Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi
seorang, baik di Khuttab atau di Mesjid tingkat menengah. Sedangkan pada
tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
3. Majelis Sastra
Majelis
sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi
dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama
terkemuka. Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan
tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang
masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi,
duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak
meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia
tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan
memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta
menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam
balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk
dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.[14]
Hal diatas sesuai dengan wasiat Abdul Malik ibn Harman kepada pendidik puteranya dengan pesan “Ajarkan
kepada mereka berkata benar disamping mengajarkan Al Quran. Jauhkanlah
mereka dari orang-orang jahat yang tidak mengindahkan perintah Allah dan
tidak berlaku sopan, dan jauhkan juga mereka chadam dan pekerjaannya
karena bergaul dengan mereka akan dapat merusak moralnya. Gunakanlah
perasaan mereka agar badannya kuat, dan serahkanlah mereka bersufi dan
air dengan menghisabnya pelan-pelan dan jangan minum tidak senonoh bila
memerlukan teguran hendaklah secara tertutup, jangan sampai diketahui
oleh pelayan dan tamu agar mereka tidak dipandang rendah.[15]
Majelis
sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan
juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik. Perhatian
penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu,
pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang
syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.[16]
Usaha
yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya
penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti
yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana
Yunani da Qibti ke dalam Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan
Ilmu Falaq.[17]
Pada
periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam
negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak
memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul
beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang
dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan
serta syair dan Kitabah.[18]
Ilmu
tafsir memiliki makna yang strategis, disamping karena faktor luasnya
kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi
lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam.
Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang
digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran Al Quran juga
disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah
Israiliyyat. Tokohnya adalah Abd Malik ibn Juraid al Maki. Selain ilmu
tafsir ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius. Pentingnya
periwayatan hadist sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
maupun secara moral. Namun keberhasilan yang diraihnya adalah semangat
untuk mencari hadist, sebelum mencapai tahap kodifikasi. Khalifah Umar
ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim
surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain
untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist-hadist, namun hingga akhir
pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian
pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian
pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan
alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan
orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah.
Dibidang
fiqh secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini
mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas,
sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan
aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan
hadits yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan
perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah
mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah lahir tokoh
mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di
Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada
masa Abbasyiyah.[19]
Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah:
Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini”
Periode
Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah
pada Mesjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi
dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini di Mesjid diajarkan
beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan
demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad
ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Mesjid yang paling cemerlang.
Nampaknya
pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama
dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Hanya saja memang ada
sisi perbedaan perkembangannya. Perhatian para Khulafa dibidang
pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang
maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh
para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.
Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah
karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golonga.
Walaupun
demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya
gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab,
tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai
kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana
dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas
keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan
negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal orang yang
pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu
dari Muawwiyah.[20]
pendidikan
Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan
pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan
ilmiah di mesjid-mesjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.
Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
1. Khuttab
Khuttab atau Maktab berasaal dari kata dasar kataba
yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat
belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan
membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.[6]
Adapun
cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka
juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan. Perhatian mereka
bukan tertumpu mengajarkan Al Quran semata dengan mengabaikan pelajaran
yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat. Al
Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian
dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari. Disamping belajar
menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab,
cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[7]
Kalau dilihat di dalam sejarah pendidikan Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:
One. Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca.[8]
Two. Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al Quran dan dasar-dasar keagamaan.[9]
Peserta
didik dalam Khutab adalah anak-anak, tidak dibatasi baik miskin ataupun
kaya. Para guru tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada
sebagian anak miskin yang belajar di Khuttab memperoleh pakaian dan
makanan secara cuma-cuma. Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang
sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.[10]
Namun tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang mampu mendidik
anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru
yang khusus pula seperti: Hajjad ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi
putra Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn
Marwan. [11]
2. Mesjid
Setelah
pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke
tingkat menengah yang dilakukan di mesjid. Peranan Mesjid sebagai pusat
pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang
yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan
ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada
Dinsti Umayyah, Mesjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan
tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al
Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak,
gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.[12]
Diantara
jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan adalah menjadikan Mesjid sebagai pusat aktifitas ilmiah
termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada
periode ini juga didirikan Mesjid ke seluruh pelosok daerah Islam.
Mesjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi
tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada
pemerinath Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas
terbesar dan juga didirikan Mesjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap
Universitas tertua sampai sekarang.[13]
Pada
Dinasti Umayyah ini, mesjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua
tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat
menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya
adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya.
Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi
seorang, baik di Khuttab atau di Mesjid tingkat menengah. Sedangkan pada
tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
3. Majelis Sastra
Majelis
sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi
dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama
terkemuka. Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan
tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang
masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi,
duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak
meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia
tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan
memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta
menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam
balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk
dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.[14]
Hal diatas sesuai dengan wasiat Abdul Malik ibn Harman kepada pendidik puteranya dengan pesan “Ajarkan
kepada mereka berkata benar disamping mengajarkan Al Quran. Jauhkanlah
mereka dari orang-orang jahat yang tidak mengindahkan perintah Allah dan
tidak berlaku sopan, dan jauhkan juga mereka chadam dan pekerjaannya
karena bergaul dengan mereka akan dapat merusak moralnya. Gunakanlah
perasaan mereka agar badannya kuat, dan serahkanlah mereka bersufi dan
air dengan menghisabnya pelan-pelan dan jangan minum tidak senonoh bila
memerlukan teguran hendaklah secara tertutup, jangan sampai diketahui
oleh pelayan dan tamu agar mereka tidak dipandang rendah.[15]
Majelis
sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan
juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik. Perhatian
penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu,
pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang
syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.[16]
Usaha
yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya
penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti
yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana
Yunani da Qibti ke dalam Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan
Ilmu Falaq.[17]
Pada
periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam
negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak
memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul
beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang
dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan
serta syair dan Kitabah.[18]
Ilmu
tafsir memiliki makna yang strategis, disamping karena faktor luasnya
kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi
lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam.
Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang
digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran Al Quran juga
disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah
Israiliyyat. Tokohnya adalah Abd Malik ibn Juraid al Maki. Selain ilmu
tafsir ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius. Pentingnya
periwayatan hadist sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
maupun secara moral. Namun keberhasilan yang diraihnya adalah semangat
untuk mencari hadist, sebelum mencapai tahap kodifikasi. Khalifah Umar
ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim
surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain
untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist-hadist, namun hingga akhir
pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian
pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian
pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan
alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan
orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah.
Dibidang
fiqh secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini
mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas,
sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan
aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan
hadits yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan
perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah
mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah lahir tokoh
mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di
Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada
masa Abbasyiyah.[19]
Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah:
Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini”
Periode
Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah
pada Mesjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi
dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini di Mesjid diajarkan
beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan
demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad
ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Mesjid yang paling cemerlang.
Nampaknya
pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama
dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Hanya saja memang ada
sisi perbedaan perkembangannya. Perhatian para Khulafa dibidang
pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang
maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh
para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.
Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah
karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golonga.
Walaupun
demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya
gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab,
tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai
kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana
dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas
keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan
negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal orang yang
pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu
dari Muawwiyah.[20]
Terima kasih atas kunjungan anda, semoga postingan saya bermanfaat. Tolong berikan pendapat anda tentang postingan saya.