Unknown
On Woensdag 06 Maart 2013
Pemikiran Ibnu Atha’illah
Berdasarkan
biografi dan karya-karya tulis Ibnu Atha’ilah, sudah jelas, bahwa ia
seorang ahli hukum mazhab mailki, ia juga sebagai seorang guru sufi
tarekat Syadziliyah. Oleh sebab itu sepantasnya ia dijuluki sebagai
ahli Hikmah, yang melahirkan salah satu dari pemikiranya adalah Kitab
al-Hikam.
Untuk
memudahkan mendalami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, perlu memahami
terlebih dahulu perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, mulai dari
karir hingga wafatnya. Hal ini dilakukan untuk memperjelas dalam
mengklasifikasikan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah, yang sedikit banyak
berorientasi pada nilai-nilai Taswuf yang melekat pada dirinya.
Perkembangan
pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dapat diketahui dari karya tulisnya
al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu
‘Atha’illah pada khusunya dalam paradigma Tasawuf. Diantara para tokoh
sufi yang lain, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, dan
para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu
‘Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan
teologi, tetapi diseimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadat dan
suluk, artinya diantara syari’at, tharikat dan hakikat ditempuh dengan
cara metodis. Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya tulis dan
warisan spiritualnya dan selain ia seoarang ahli hukum yang bermazhab
Maliki dan sebagai penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki posisi
sebagai dalam tahrekat Sydziliyah.
Corak
Pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan
para tokoh sufi lainnya ia lebih menekankan nilai Tasawuf pada
Ma’rifat. Selain itu juga bahwa Ibnu ‘Atha’illah merupakan guru ketiga
dari taharikat Syadziliyah, maka ia memilki pandangan tasawuf pada
kahususnya tentang ma’rifat berdasarkan pandangan tarekat Syadziliyah.
Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama,
tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia
mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan
kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan
rasa syukur kepada Allah. dan mengenal rahmat Illahi. Meninggalkan
dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan
berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada
kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt. dengan
sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Kedua,
tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam. Ia adalah salah
satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan
al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah, mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf
yang dikenal cukup moderat.
Ketiga,
zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud
adalah mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci
para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia.
Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang
tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu
hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahw) yang akan
melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.
Keempat,
tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya
raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya.
Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai
melalaikan-Nya dan jangan samapi menjadi hamba dunia, tiada kesedihan
ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika berlebihan ketika harta
datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus memakai baju
lusush yang tidak berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.
Kelima,
berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha
menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang
yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak
dialami para salik. Abu hasan al-Syadzili menawarkan tasawuf positif
yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari ‘langit’, juga
harus beraktivitas dalam realitas sosial di ‘bumi’ ini. Beraktivitas
sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil
kontemplasi.
Keenam,
tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan
menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat
aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah Swt., senantiasa
melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya
selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh
Ketujuh,
dalam kaitannya dengan ma’riaft al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat
adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua
jalan
1).
Mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang
akan diberi anugrah tersebut.
2).
Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh
melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir,
mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
Karena
itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah ini akan berangkat
dari teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta
tulisan tulisan Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Hikam.
Alasan
digunakannya teori ini, karena Kitab Al-Hikam meletakan Transendental
mengenai eksistensi Tuhan secara empiris, sehingga dari sini kita
dapat memahami pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dari penglaman puncak (Fick
eksperience).
Ibnu
‘Atha’illah telah memahami ajaran konsep Tasawuf yang banyak
mengandung dari ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut
diringkas menjadi lima bagian yaitu :
- Secara lahir dan batin melakukan Taqwa kepada Allah Swt
- Berkata dan berbuat sesuai dengan As Sunnah
- Dalam penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk
- Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah Swt.
- Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah Swt.
Selain kelima kosep Tasawuf diatas, Ibnu ‘Atha’illah memiliki ajaran pokok dalam Tasawuf antara lain :
- Peniadaan kehendak dibalik kehendak Tuhan
- Pengaturan manusia dibanding kehendak Tuhan
- Pengaturan manusia dibanding pengaturan Allah SWT.
Mengenai konsep yang pertama dan kedua,. Ibnu ‘Atha’illah memberikan penegasan dalam hikmah sebagai berikut.
مَا تَرَاكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْأً مَنْ اَرَادَنَ يُحْدِثُ فِى اْلوَقْتِ غَيْرَ اَظْهَرَهُ اللهُ فِيْه
Artinya
: “tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang
menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju
kelain waktu yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”.
Allah
Swt adalah Dzat yang maha merajai diseluruh alam semesta ini. Dia
mengetahui segela sesuatu yang ada didalam kerajaannya, itu dengan
kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri. Maka dari itu apa saja yang
terjadi apa saja dialam semesta ini, misalnya jatuh sakit, orang yang
berada ditingkat tajrid, orang berada ditingkat kasab, miskin serta
kaya, semua itu berjalan dengan kehendak dan iradat yang telah
direncanakan sejak semula oleh Allah Swt dan juga mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan dalam alam wujud ini. Dalam Hal ini Allah Swt
berfirman :
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ
Artinya : “…Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir” (Q.S: Ar-rod :8)
Oleh
sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan yang
telah ditentukan oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam ini
adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodohnya orang, yang tidak memahami
akan qudrat dan iradat Allah Swt. Dengan alasan, karena ia menghendaki
suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah, berarti dalam garis
besarnya ia tidak rela akan ketetapan dan keputusan Allah yang telah
diberikan kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah
kepadanya bukanlah termasuk suatu keadaan yang tercela.
Jadi
usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah
itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya setiap
manusia harus menerima ketetapan (taqdir) Allah ini harus dengan lapang
dada dan rela hati yang dibarengi dengan ikhtiar.
Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan, Ibnu ‘Atha’illah menegaskan pula dalam hikmah sebagi berikut :
لاَ ِنهَايَةَ ِلمَذَامِكَ اِنْ أَرْجَعَكَ إِليَْكَ وَلاَ تَفْرَغُ مَدَ فَحِكَ إِنْ أَظْهَرَوُجُوْدَهُ عَلَيْكَ
Artinya
“ tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya) kejelekanmu jika
Allah mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya upayamu
sendiri. Dan tidak akan ada habisnya kebaikanmu, jika Allah
memperlihatkan kemurahan-Nya kepadamu”
Tidak
akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang mengerjakan
kejahatan jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab nafsu itu
cenderung pada kejelekan. Sebaliknya orang yang merasa bosan atau tidak
henti-hentinya untuk mengerjakan amal kebaikan jika Allah memberikan
sifat kemurahannya kepadanya.
Penjelasan
menganai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas terhadap amal
usahanya, tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau buruk. Artinya
manusia harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan
atau tindakan diri sendiri. Untuk menegakkan adab Sufi dan kehalusan
budi kepada Allah Swt. Maka hanya kehendak dan daya kekuatan Allahlah
yang ditegakkan dalam setiap pembicaraan tasawuf.
Pemikiran
Ibnu ‘Atha’illah tentang Tuhan tersebut sangat berimplikasi pada
struktur internal kitab al-Hikam tentang ma’rifat. Tema dasar kitab
tersebut adalah ma’rifat. Ia adalah ma’rifat iluminatif dimana disana
terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan
karya itu keutuhan dan pandangan yang mendasarinya.
Dalil
metafisikanya adalah terbaik dalam sufisme: ke Esaan Tuhan sendiri
adalah absolut atau hakiki (al-haqq), atau tidak terbatas. Sementara
selain Dia adalah relatif atau tidak riil, atau terbatas. Ini adalah
doktrin tauhid (Devine Unity), dasar islam yang dinyatakan sebagai
kesimpulan akhir metafisika. Dilihat dari sudut pandang kebenaran
(al-haqq), dunia adalah tidak ada, tidak ada “selain” al-Haqq (the
Real). Konsekuensi-konsekuensi` spiritual mendalam yang mengalir dari
doktrin tauhid ini adalah prosesi realisasi itu sendiri.
Mengenai
tiga prinsip agama Islam, yang disebutkan dalam hadits Nabi yakni Iman
Islam dan Ihsan, memainkan ajaran penting dalam ajaran Sufi Ibnu
‘Atha’illah mengambil syahadah islam dan mengimplikasikannya dalam
tekhnik dzikir yang penting: “manusia terbagi kedalam tiga kategori
kelompok dalam kaitannya dengan penegasan dirinya terhadap keEsaan.
Tuhan dalam Dzikir.
Ketegori
kelompok peratama adalah diantara para pemula pada umumnya. Pada
kategori ini, penegasan keesaan dengan lisan, kata, kepercayaan dan
kepatuhan dengan jalan pencerahan-pencerahan dalam kesaksian keesaan,
bahwa “tidak adan Tuhan selain Allah Muhammad adalah utusaan-Nya, ‘
dan itu adalah Islam”.
Kategori
kelompok kedua, adalah orang-orang yang tepilih tingkat menegah. Pada
kelompok ini, penegasan keesaannya dengan hati, secara bebas dan
dengan kehendak sendiri, dalam keyakinan dan kepatuhan. Dan itu adalah
Iman.
Kategori
kelompok ketiga adalah orang-orang pilihan dari orang-orang yang
terpilih. Pada kelompok ini penegasan keesaan dengan akal (al-aql),
mata (‘iyan), yakin (yakin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dan itu
adalah ihsan.
Selain pandangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah membagi dzikir kedalam tiga tingkatan.
Pertama
dzikir dengan lidah. Ia merupakan dzikir yang sifatnya umum. Kedua
dzikir yang dilakukan dengan hati. Ini adalah dzikir orang-orang
terpilih yang mempunyai keyakinan.
Ketiga
dzikir dengan jiwa. Ini adalah dzikir orang-orang pilihan dari yang
terpilih yang merupakan dzikir orang-orang gnostik (‘arifun) yang
menghentikan dzikir mereka sendiri dengan mengingat (kontemplasi) Tuhan.
b. Metafisika Ibnu ‘Atha’illah
Dalam
berbagai hal yang bertkaitan dengan kehidupan, Ibnu ‘Atha’illah lebih
memprioritaskan pada qalb meskipun sedikit berbeda dengan al-Ghazali
yang lebih mengedepankan Riydhah Fisik.
Nilai-nilai
Metafisika Ibu ‘Atha’illah dapat dilihat dari berbagai macam
pemikirannya, terutama tentang wujud dibalik alam fisik/ragawi, dalam
hal ini Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan : “ sesungguhnya alam dapat
mencukupi kamu dari segi jasmanimu dan dia tidak mencukupi dari segi
ketetapan ruhanimu”
Benda
yang ada di alam sama bentuknya dengan badan manusia (sama dalam
bentuk kasarnya). Oleh karena itu anggota badan selalu bergantung
dengan benda-benda tersebut bahkan mencukupinya. Sebaliknya ruh itu
tidak sejenis badan atau benda-benda alam ini, maka kehidupan dan
pertumbuhan ruh tidak bergantung pada benda-benda dunia akan tetapi
bergantung dan berhubungan kepada terciptanya benda-benda alam tersebut
yakni Allah Swt.
Jadi
benda-bemnda alam itu tidak dapat memuat atau mencukupi kebutuhan
ruhaniayah. Oleh karena itu untuk menyempurnakan kehidupan ruh tersebut
sebaiknya setiap orang haus selalau berdzikir dan menyingkirkan segala
hawa nafsu yang ada pada diri manusia, sehingga ruh itu bersih dari
segala kotoran yang menempel pada kita.
Secara
biologis, manusia tersusun dari dua macam unsur yakni tubuh kasar
(jasmani) dan ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat
menemukan, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih,
mencintai, membenci, dan sejenisnya.
Ibnu
‘Athaillah berpendapat tentang tubuh manusia, ia mengemukakan bahwa
tubuh mansia tercipta dari tanah. Hal ini sudah merupakan kepastian
yang mau tidak mau harus di akuinya. Sedangkan mengenaui ruh, Ibnu
‘Atha’illah tetap berpegang pada al-qur’an, sebagaimana firman Allah
Swt.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
Artinya
: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit”. Q.S. Al-Isra : 85)
Ruh
termasuk urusan dan perkataan Allah Swt. Sendiri yang selain-Nya itu
pasti tidak akan dapat mengetahui, tidak dahulu, tidak sekarang dan
tidak nanti, bahkan tidak untuk selama-lamanya.
Sebenarnya
setinggi-tingginya pengetahuan yang dapat diperoleh mengenai hal ruh
itu ialah bahwa ruh itu berdiam didalam tubuh manusia dan bahwa dengan
adanya ruh itu lalu tampaklah gerak kehidupan dari tubuh itu dan dapat
diketahui pula apa yang diakibatkan oleh adanya kehidupan berfikir,
mencintai, menbenci dan sejenisnya, selain itu yang dapat diketahui
mngenai ruh ialah bahwa ruh itu sewaktu-waktu berpisah dengan tubuh
yang merupakan media kediamannya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh
ruh tersebut lalu menjadi benda mati, beku dan tidak lagi memiliki
gerakan.
Dapat
disimpulkan bahwa ruh yang dikaruniakan kepada manusia itu merupakan
zat yang membedakan antara manusia dan benda-benda yang lain dialam
semesta. dengan adanya ruh manusia menjadi pandai dan alim secara
sendirinya, sehingga seluruh mala’ikat diperintah oleh Allah untuk
tunduk memberi penghormatan kepada manusia tadi. Sebagian ulama Islam
berpendapat bahwa “ruh adalah zat yang memiliki sifat yang tersendiri,
dan berada dalam benda-benda lain. Ia adalah jisim Nuraniyah (Nur atau
cahaya), dan kedudukannya tinggi dalam kehidupan manusia.
Selain
ia dapat meninggalkan tubuh kasar dan dapat menjalar kerongga-rongga,
tubuh itu bagaikan mengalirnya air dalam tangkai yang hijau hidup. Ruh
itu tidak dipisah-pisahkan, atau dibagi. Kepada tubuh ruh memberikan
kesan kehidupan dan apa-apa yang berhubungan dengan adanya kehidupan
itu, selama tubuh masih dapat menerima berdiamnya ruh di dalamnya.
Adanya
zat yang disebut ruh itu seudah disepakati oleh seluruh agama yang
datangnya dari langit (agama samawi) yakni dari Allah Swt. Manusia
meyakinkan adanya ruh itu dan dan mempercayainya sejak mereka mengenal
agama-agamanya.
Bahkan
aliran yag semata-mata berdasarkan materi atau kebendaan, sebelumnya
mereka mempercayainya adanya ruh sampai tersebar tiga abad terakhir,
kemudian mereka mengingkari dan tidak mengakui bagi adanya kenyataan
ruh tersebut.
Paham
materialis mengumumkan bahwa di balik alam materi tidak ada alam lain,
kecuali alam yang sama-sama disaksikan secara empiris, juga tidak ada
benda lain, kecuali benda-benda yang tampak lagi untuk apa yang
dinamakan ruh itu dalam alam semesta yang maujud ini.
Berdasarkan
beberapa keterangan diatas, Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan juga selain
manusia tersusun dari dua unsur yaitu jasad dan ruh atau materi dan
imateri, ia berpandangan bahwa, akal (aql) dan hati (qalb) sangat
berpengaruh dalam kehidupan dan pencapaian ma’rifat. Karena itu Ibnu
‘Atha’illah pempriortiskan keduanya untuk melakukan suluk agar jiwa
dapat bersih dari ketergantungan materi, sebagaimana hikmah yang
ditulisnya :
اُخْرُجْ
مِنْ اَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِصٍ
لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِاْلحَقِّ مجُِيْبًاوَمِنْ
حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا
.
Artinya
: “keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu (materi) yang buruk
dari setiap sifat yang dapat merusak sifat kebudihanmu agar kamu berada
untuk menyambut panggilan Zat yang haq (Allah Swt.), dan dari
kehadirat-Nya adalah lebih dekat.”
B. Pengertian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
Dari
sisi bahasa ‘arif memiliki sighat isim fa’il yang berarti orang yang
mengenal atau mengetahui, Perkataan ‘arif adalah perkataan umum dalam
tasawuf kerenanya ‘arif ditinjau dari segi tasawuf memiliki kriteria
diantaranya:
- a). Cintanya hanya kepada Allah yang agung
- b). tidak pernah mengendahkan yang banyak atau yang sedikit, yakni disegala hal.
- c). mematuhi segala perintah Allah,
- d). terlalu bimbang dari pertukaran keadaan.
Tetapi
Ibnu ‘Atha’illah nampaknya disini menegaskan pengertian ‘arif sebagai
orang yang bijak dalam melakukan segala sesuatu dan mengetahui segala
sesuatu. Seiring pula dengan Abul Abbas Al-Mursi memprediksi pribadi
Ibnu ‘Atha’illah sebagai orang yang bijak dan menjadi tokoh sufi yang
bijak pula.
Adapun
Ma’rifat secara istilah adalah cara mengenal atau mengetahui
eksistensi Tuhan dan orang yang mengetahui eksistensi Tuhan disebut
‘arif. Pengertian tersebut dapat diperluas lagi menjadi cara mengenal
atau mengetahui eksistensi Tuhan melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang
berupa makhluk-makhluk Ciptaan-Nya. Karena itu, pengertian diatas
menegaskan dua penjelasan.
Penjelasan
yang pertama berupa Nur anugrah dari Allah yang diberikan secara
langsung. Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut mawahib atau ‘ain
al-ujd. Ibnu ‘Atha’illah menuliskan hikmah sebagai berikut :
مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ
Artinya : “Barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada akhirnya”.
Cahaya
dalam pengertian disini, adalah Nur Iman (Cahaya ketauhidan) dengan
cahaya ini manusia dapat melihat Allah dengan mata hatinya dan cahaya
tersebut merupakan Hakikat cahaya yang sebenarnya.
Adapun
tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala
sumber, yakni sinar Ilmu, sinar ma’rifat, dan sinar tauhid.
Keterangan ini sesuai dengan hikmah yang ditulisnya :
مَاطَاِلعُ ْاَلاْنوَارِ اْلقُلُوْبُ َواْلاَسْرَارُ
Artinya : “ tempat terbitnya berbagai cahaya Illahi itu ada dalam hati manusia dan rahasia-sahasianya”
Pada
kesempatan lain, Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan ada tiga cahaya yang
merupakan bekal bagi manusia untuk dapat mengetahui kedekatan dengan
Tuhan dan mensifati wujud Tuhan. Tiga macam cahaya tersebut adalah
,pertama Syu’aa’ul Bashiirah yakni dengan akalnya manusia dapat
mengetahui akan hakikat dirinya dan mengarti bahwa Allah itu dekat
dengannya. Kedua, ‘Ainul Bashiirah yakni dengan Ilmunya, manusia bisa
mengetahui bahwa dirinya itu sama sekali tidak ada di dalam wujud Allah.
Ketiga, Haqqul Bashirah, yakni dengan kesaksiannya, manusia bisa
mengetahui bahwa dirinya yang semula tidak ada menjadi ada, kemudian
menjadi tidak ada lagi, sama sekali tidak disamakan dengan ada-Nya Allah
yang tidak berawal dan tidak berakhir.
Dengan ketiga cahaya itulah manusia dapat mengetuhi, menghayati, mensifati tentang Wujud Tuhan.
Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan pula cahaya Illahi yang masuk kedalam hati sebagai Hidayah (petujuk) terdiri dari dua macam hati :
Cahaya
yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum
meresap kedalam hati). Hal ini menyebabkan pandangan seseorang tidak
bisa sepenuhnya tertuju kepada Allah, karena sebagian hati yang lain
masih tertambat pada kesenangan dunia.
Cahaya
yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang
bisa dengan sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya
kepada Allah semata.
Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Ma’rifat berkata :
“Apabila
Iman itu ada dibagian luar hati, maka seorang hamba akan mencintai
dunia dan akhirat, yakni sebagian mencintai Allah dan sebagian
mencintai dirinya. Dan apabila iman telah masuk kedalam lubuk hati
maka dia akan membenci dunianya dan ditolak kehendak hawa nafsunya”
Di
satu sisi Ibnu ‘Atha’illah memaknai cahaya yang ditulis diatas sebagai
“hidayah” dalam melakukan suluk (Ibadah). Sebagaimana yang dilontarkan
oleh Ust Labib Mz. Dalam Kitab Al-Hikam sebagai berikut :
“Apa
bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak
beribadah kepadanya, maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa
berma’rifat kepada Allah, yang dengan Ma’ifatullah ini ia akan
mancapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”
Penjelaskan
kedua, bahwa Ma’rifat dapat diraih dengan cara (tarekat) kesungguhan
dalam melakukan suluk (kesungguhan dalam beribadah), dan kesungguhan
ini merupakan tonggak titik awal untuk mendapatkan puncak akhir dari
Ikhsan (kebajikan spiritual), yang memainkan peran penting dalam ajaran
Sufi.
Pada
kelompok Ikhsan ini, penegasan keesaannya adalah dengan akal (al-aql),
mata (‘iyan), yakin (yaqin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dalam
istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut sebagai makasib atau atau badzi
al-majhud.
Dalam
hal suluk Ibnu Athaillah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa
Ma’rifat bisa dicapai dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk)
kepada Allah. dalam hikmah yang ditulis sebagai berikut :
اَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ اْلبِدَايَاتِ مَجَلاَّتُ النِّهَايَاتِ وَاِنَّ مَنْ
كَانَتْ بِااللهِ ِبدَايَتُهُ كَانَتْ اِلَيْهِ ِنهَايَتُهُ
Artinya
: “ Amma Ba’du : sesungguhnya permulaan (suatu perkara) itu cermin
yang memperlihatkan pada puncak kesudahannya. Dan sesungguhnya orang
sejak permulaannya itu selalu bersandar kepada Allah, maka puncak
kesudahannya akan samapai kepada-Nya,”
Permulaan
yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan permulaan yang jelek
akan membuahkan hasil yang jelak pula. Demikian pula apabila seseorang
itu mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Allah kemudian ia
memulainya dengan cara yang baik dan usaha yang sungguh sungguh
(suluk), niscaya pada akhirnya apa yang diinginkannya itu akan tercapai
dengan baik pula.
Sebaliknya
jika keinginan untuk bertemu dengan Allah tidak dimulai dengan cara
yang baik dan tidak pula disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh
(suluk), maka sudah barang tentu keinginannya itu hanya tinggal
keinginan belaka tanpa ada hasil yang memuaskan.
Dalam
hal penegasan dengan akal (al-aql). Ibnu ‘Atha’illah menuliskan dalam
Kitab Al-Hikam bahwa ‘arif dapat menyaksikan eksistensi Tuhan semata,
sebagaimana Hikmah dibawah ini :
Artinya
: “ bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu
padahal Allah yang mendahirkan (menampakkan) segala sesuatu”.
Artinya : “bagaimana akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu”.
Dalam
hal mata hati (iyan) menjelaskan bahwa satu mata dapat melihat Tajalli
(penzahiran) sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus
berlanjut sepanjang evolusi keruhanian berlangsung (yaitu
pengalaman-pengelaman dalam tingkat-tingkat keruhania menuju Allah).
Mata
yang lainnya dapat melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur
tauhid dan keEsaan. Seorang salik yang telah masuk ke peringkat “disisi
Allah” saja yang dapat melihat ke Esaan yang mutlak (yaitu Allah)
yaitu mereka yang berada dalam peringkat tinggi yaitu Tajalli Dzat.
Dalam hal ini Ibnu athaillah menyebutkan :
فَاِنَّهَا لاَتَعْمَىْ اْلاَبصَْارُ وَلكِنْ تَعْمَىْ اْلقُلُوْبُ التَّىِ فِى الصُّدُوْرِ
Artinya : “ Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang buta) yang ada dalam rongga dada”.
Sedangkan
dalam hal Musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman
Al-Makky r.a. arti yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi
qalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya.
Sebagaimana perkiraan kilatan dalam kilatan yang bersambung. Seperti
malam yang gelap dilampaui cahaya siang.
Begitupun
qalbu, apabila keadaan tajalli tampat terus menerus, akan menjadi
siang yang nikmat, tiada malam sama sekali. Sejalan dengan Ibnu
‘Atha’illah yang menyebutkan :
Artinya : “Bagaimana mungkin dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) yang tampak dhahir pada segala sesuatu”
Berangkat
dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahawa ma’rifat pandangan Ibnu
Athai’llah adalah salah satu tujuan dari tarekat atau tasawuf yang
dapat diperoleh dengan dua jalan.
Pertama,
adalah mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang
akan diberi anugrah tersebut.
Kedua,
adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat
diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah
al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih
lainnya.
C. Macam macam Ma’rifat Pandangan Ibnu Atha’illah
Karya
Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah (komentar)
dari beberap komentator atau pensyarah. Hikam adalah jamak dari
hikmah yaitu kitab khusus yang menerangkan tiga bagian pokok;
aforisme, risalah dan munajat (do’a). aforisme atau aksioma-aksioma
spiritual merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi dari
seluruh bagian lainnya, dimana muatan dua bagian lainnya
terbahas/tersaji dalam bagain aforisme.
Aforisme
mengenai Ma’rifat adalah tema dasar kitab tersebut. Ia adalah ma’rifat
iluminatif, dimana di sana terdapat benang yang merentang batu-batu
permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan yang
menadsarinya.
Aforisme Tentang Tingkatan Ma’rifat
Aforisme-aforisme
yang mendasar mengenai Ma’rifat, dapat dilihat dari
tinggkatan-tingkatan sufisme yang ditulis Ibnu Atha’ilah yakni dibagi
mejadi tiga tingakatan yaitu : Sinar mata hati (syu’aa’u lbashirah) atau
dapat disebut cahaya akal, mata hati (Ainul bashirah) atau dapat
disebut Cahaya Ilmu dan Hakikat Mata hati (Haqqul bashirah) atau dapat
disebut cahaya Illahi
“Sinar
Mata hati itu dapat memeperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu.
Dan Mata hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu
karena wujud (adanya) Allah, dan Hakikat Mata hati itulah yang
menunjukan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ‘adam (ketiadaanmu) dan
bukan pula wujudmu.”
“Fikiran
itu dua macam : fikiran yang timbul dari iman percaya, dan fikiran
yang timbul karena melihat kenyataan, maka bagi yang pertama bagi orang
salik yang mengambil dalil : Adanya makhluk menunjukan adamnya Khalik,
ialah mereka ahli I’tibar. Sedangkan yang kedua mereka yang terbuka
hijab hingga dapat melihat kenyataan dengan mata hatinya.”
Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang menunjukan adanya benda yang dijadikan.
Mengenai
yang pertama dapat disebut dengan ma’rifat orang salih dan mengenai
yang kedua dapat disebut ma’rifat orang mahjdzub Orang yang memfikirkan
adanya alam, ada yang langsung melihat pada yang menjadikan, sehingga
ia berkata : Karena adanya pencipta, maka terjadilah yang dicipta, dan
sebaliknya ada yang terpengaruh oleh bendanya, sehingga berkata adanya
ciptaan ini menunjukan adanya pencipta.
“hakikat
ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal
(Singkat), tetapi setelah tertangkap terjadinya penerangan
(keterangan)nya ayat : maka apabila kami bacakan, ikutilah bacaannya,
kemudian kami sedndiri yang akan menerangkannya (penjelasan perincian).
Ilmu
adalah sesuatu yang didapat dengan belajar, dan hakikat dari sebuah
ilmu adalah ilham dari Allah kedalam hati tanpa perantara. Hakikat ilmu
itu dapat juga disebut ilmu ladunni.
D. Metode Pencapaian Ma’rifat Pandangan Ibnu ‘Atha’illah
“Seorang
salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin
berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara
hakikatnya (hawatif al haqiah) segera memeperingatkan kepadanya,
“bukan itu tujuan yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!”
demikian pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan
diperingatkan oleh hakikatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian
batu ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.”
Aforisme Tentang Pencapaian Ma’rifat
اَلعَْاِرفُ لاَ يَزُوْلُ اْضطِرَارُهُ وَلاَ يَكُوْنُ مَعَ غَيْرِاللهِ قَرَارُهُ
“Seorang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa tenang, atau bersandar pada sesuatu selain Allah.”
Terima kasih atas kunjungan anda, semoga postingan saya bermanfaat. Tolong berikan pendapat anda tentang postingan saya.